Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Seks Nonmarital: Ketelitian dan Keteledoran Pemikiran Syahrur
Media massa pun terlibat dalam menurunkan laporan yang kurang teliti. Term "hubungan seksual non marital" ditafsiri sebagai "hubungan seks di luar
Editor: Husein Sanusi
Seks Nonmarital: Ketelitian dan Keteledoran Syahrur
KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Paska booming kontroversi hermeneutika dalam studi Islam, tiba-tiba diskursus serius keislaman tiarap. Di Indonesia, wacana tampak hanyut, terbawa arus pragmatisme dan politis. Kehadiran disertasi karya Abdul Aziz tentang hubungan seksual nonmarital, yang membawa viral, mengagetkan publik yang tak biasa dengan pemikiran-pemikiran akademis dan kontroversial.
Media massa pun terlibat dalam menurunkan laporan yang kurang teliti. Term "hubungan seksual non marital" ditafsiri sebagai "hubungan seks di luar nikah." Publik terkejut dan berasumsi bahwa seks di luar nikah dilegalkan syariat. Padahal, nonmarital dalam disertasi tidak bisa diterjemahkan sebagai "di luar nikah", sebab yang dimaksud adalah pernikahan sah dan syar'i namun tidak kompleks. Nonmatiral adalah pernikahan sederhana yang hanya bisa dikontraskan dengan konsep perkawinan (az-Zawjiyah).
Satu-satunya cara memahami konsep non marital adalah memahami konsep perkawinan (Az-Zaujiyah), yakni pernikahan (al-nikah) yang berdasarkan kesepakatan sosial antara seorang laki-laki dan perempuan. Tujuan az-Zawjiyah adalah hubungan seksual, menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan, memohon karunia anak, membentuk keluarga, dan menempuh kehidupan bersama. Keadaan demikian dinamakan sebagai kehidupan suami-istri yang menyebabkan seorang perempuan menerima hukum-hukum maskawin, perceraian, ‘iddah dan waris.
Berbeda dengan az-Zawjiyah, Nonmarital disebut juga Milk al-Yamin, yakni hubungan sukarela antara seorang pria dewasa dan seorang wanita dewasa. Tidak ada tujuan untuk membangun hubungan kekerabatan, membuat garis keturunan, dan tidak ada komitmen untuk hidup bersama selamanya. Tujuan utamanya hanya terbatas pada menjalin hubungan seksual yang disepakati kedua belah pihak.
Dalam praktek milk al-yamin, terkadang seorang wanita menjadi milik seorang pria. Si wanita bisa menerima pemberian dari si pria, misalnya dalam kasus nikah mut‘ah, suatu ajaran popular di Islam Syi'ah. Kasus lain milk al-yamin memperlihatkan posisi seorang pria yang menjadi milik seorang wanita. Namun, saat itu, pihak wanita tidak menuntut nafkah atau rumah dari si pria. Hal ini terjadi dalam kasus nikah misyar, suatu ajaran yang popular di kalangan Islam Sunni. Milk al-yamin ada kalanya berupa sikap saling memiliki antara wanita dan pria, seperti dalam kasus nikah 'friend atau persahabatan' (http://shahrour.org/?page_id=12). Ini kasus popular di Eropa, yang menurut istilah orang Jawa dikenal dengan hidup "kumpul kebo."
Allah swt. menghalalkan non marital atau milk al-yamin, yang secara fungsional memiliki tiga tujuan: sebagai pelayan dalam sebuah rumah tangga, pelayan dalam suatu pekerjaan, dan pelayan seksual. Di dalam konsep Milk al-yamin sama sekali tidak ada tujuan-tujuan perkawinan (Az-Zaujiyah) yang kompleks. Namun begitu, Syahrur menolak menyamakan milk al-yamin dengan ar-Riqq, budak dan perbudakan (Syahrur, Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, 2000: 308).
Penolakan Syahrur dilatar belakangi asumsi fuqaha' klasik, yang melihat ayat-ayat Milk al-Yamin dalam al-Quran turun berkenaan dengan semangat jaman yang mengakui perbudakan), baik di wilayah Romawi, Persia, India, maupun wilayah bangsa Arab. Syahrur keberatan. Jaman telah berlalu. Seluruh dunia menentang sistem perbudakan. Ayat-ayat Milk al-Yamin tidak boleh dikerangkeng dengan tafsir fuqaha' klasik. Hal itu sama saja membiarkan Islam melegalkan praktek perbudakan. Kita harus mencarikan konsep dan konteks baru tentang ayat-ayat milk al-yamin (Syahrur, Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, 2000: 121).
Karena pernikahan milk al-yamin adalah sah dan dibenarkan syariat maka tentu saja ada larangan-larangan yang harus dihindari, seperti larangan yang berlaku dalam pernikahan tipe az-Zawjiyah. Syahrur membuat beberapa list larangan dalam melakukan pernikahan ala Milk al-Yamin, seperti:
tidak boleh menikahi maharim (muhrim), tidak boleh menikahi mutazawwijah (perempuan bersuami/praktik poliandri), tidak boleh zina, yaitu praktek hubungan seks di muka umum, melibatkan lebih dari satu orang laki-laki, atau hubungan seksual dengan wanita bersuami. Bahkan, Syahrur menghukumi pasangan suami-istri yang melakukan seks di muka umum sebagai bentuk perzinahan. Tidak boleh melakukan as-Sifah (sex party), tidak boleh melakukan Akhdan (LGBT), tidak boleh melakukan dengan bekas Istri Ayah (ibu tiri). Apabila semua larangan di atas dilanggar maka hal itu tidak dapat disebut sebagai pernikahan Milk al-yamin (al-nikah al-milkiy al-yaminiy).
Kritik atas Syahrur dan UIN Sunan Kalijaga
Berbeda dari kehebohan di dunia maya, kaum akademisi lebih kalem melihat topik disertasi yang Abdul Aziz angkat. Sebab, pemikiran Syahrur lebih lebih kelihatan aspek inkonsistensi epistemologisnya dibanding aspek kontroversialnya. Konsep Milk al-Yamin dari Syahrur tidak bisa diterima, karena kalau laki-laki dan perempuan sah berhubungan seksual nonmarital, maka semestinya tidak perlu pembedaan konseptual milk al-yamin dan Az-Zawjiyah. Apalagi kenyataannya, larangan-larangan milk al-yamin adalah apa yang berlaku dalam az-zawjiyah.
Kesamaan larangan dalam pernikahan az-Zawjiyah dan milk al-yamin menunjukkan tidak-adanya perbedaan substansial antara keduanya. Pembedaan konseptual dibuat hanya karena ada asumsi negatif Syahrur terhadap spirit pembebasan dan anti-perbudakan dalam sejarah Islam klasik. Syahrur ragu bahwa ulama salaf, bahkan sahabat nabi, telah memperaktekkan sikap anti-perbudakan.
Padahal, sebagaimana Syahrur sendiri yakini, sejak Islam lahir, di era Nabi Muhammad saw, spirit pembebasan dan anti-perbudakan telah dimulai. Para sahabat Nabi, salafus soleh, dan fuqaha' klasik hingga modern pun begitu. Hanya saja, mereka tetap memang memahami kosa kata Milk al-Yamin dalam al-Quran sebagai budak, namun semangat mereka adalah spirit pembebasan. Memang tampak evolutif. Tapi, Para budak dibebaskan dan dinikahi hanya demi satu tujuan: pembebasan.