Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jokowi dan 'The Last Samurai'
"Menjadi Samurai adalah mengabdi pada seperangkat moral dan mencari keheningan untuk berpikir jernih."
Editor: Hasanudin Aco
Nathan berkata, "Menjadi samurai adalah mengabdi pada seperangkat moral dan mencari keheningan untuk berpikir jernih," sebagaimana dikutip di atas.
Presiden Jokowi pun sempat terjebak dan "kalah", kalau tak boleh dibilang "mengalah", menghadapi kepungan demonstran, karena “tipu muslihat” atau sim salabim DPR yang secepat kilat mengesahkan revisi UU KPK yang merupakan UU pemecah rekor tercepat yang pernah dibahas DPR, karena hanya butuh waktu 13 hari, yakni 5-17 September 2019.
Jokowi juga nyaris terjebak DPR terkait pengesahan revisi UU Pemasyarakatan dan KUHP yang akhirnya ia minta ditunda. Banyak petualang politik dan anggota DPR yang kecewa berat akibat penundaan ini, termasuk duo F Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadli Zon.
Mengapa Jokowi sempat terjebak? Karena para penggawanya tidak begitu pintar, misalnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, untuk tidak mengatakannya bodoh seperti yang dilontarkan Yasonna kepada artis peran Dian Sastro.
Mereka yang duduk di kabinet, tak terkecuali Wakil Presiden Jusuf Kalla, seolah tiarap mencari selamat. Hanya Wiranto dan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang berani pasang badan, tapi itu pun suka belepotan dan memantik polemik dalam menyampaikan pernyataan.
Atau mungkin saja Yasonna bukannya kurang pintar, melainkan punya hidden agenda dan vested interest yang sama dengan para anggota DPR, dan mungkin juga dengan para koruptor, terkait sikapnya dalam revisi UU KPK, UU Pemasyarakatan dan KUHP yang lebih berpihak ke koruptor.
Maklum, sebelum menjadi menteri Yasonna adalah anggota DPR, bahkan politisi PDIP ini pernah diperiksa KPK dalam kasus dugaan korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP. Tentu ia juga sangat memikirkan kolega-koleganya di DPR.
Namun, Jokowi harus berjuang sampai akhir. Langkah Jokowi menghadirkan para tokoh bangsa seperti Mahfud MD, Goenawan Mohamad, Azzyumardi Azra, Toety Herati dan sebagainya ke Istana, Kamis (26/9/2019), yang kemudian berbuah keputusan untuk mempertimbangkan pembatalan revisi UU KPK, sudah cukup tepat. Jokowi juga berencana menemui perwakilan mahasiswa, Jumat (27/9/2019) ini, yang diharapkan dapat menganalisasi "Semangat 45" kalangan kampus.
Menjadi Samurai, kata Nathan, adalah mengabdi pada seperangkat moral dan mencari keheningan untuk berpikir jernih. Moral Presiden antara lain adalah mendengarkan suara rakyat, karena suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi vox Dei.
Mendengar akan menyempurnakan watak manusia, demikian pitutur luhur dalam tradisi Jawa.
Sikap diam Jokowi beberapa hari belakangan di tengah gempuran aksi demonstrasi massa, mungkin karena ia sedang memerlukan keheningan untuk dapat berpikir jernih.
Setelah berpikir jernih, ditambah masukan dari para tokoh nasional di atas, Jokowi akhirnya mempertimbangkan untuk membatalkan revisi UU KPK.
Dalam catatan KPK, sedikitnya ada 26 poin kontroversial dalam revisi UU KPK yang merupakan usul inisiatif DPR.
Dalam catatan Presiden Jokowi, sedikitnya ada 14 pasal kontroversial dalam revisi KUHP. Sebab itulah, revisi kedua UU tersebut plus UU Pemasyarakatan patut ditunda bahkan dibatalkan.