Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
'Dilema Masyarakat Adat'
Menepi sejenak dari hiruk pikuk ibukota dengan serangkaian perbincangan yang melulu politik.
Editor: Toni Bramantoro
Atau pemerintah sebenarnya setengah hati di dalam menempatkan masyarakat adat secara lebih terhormat dan manusiawi sesuai kaidah konstitusi kita.
Masih sering kita saksikan kehidupan adat istiadat masyarakat tradisional dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi lewat jalan pariwisata.
Contohnya:
1. Ritual keagamaan oleh masyarakat adat yang seharusnya bersifat privat, sakral dan khusyu' malah menjadi komoditas wisata yang ramai pengunjung.
2. Sedekah bumi yang sebenarnya menyambung kembali hubungan manusia dengan alam, sebagai wujud apresiasi kepada karunia Tuhan. Tapi setelah lahirnya tradisi politik administrasi negara tentang masalah pertanahan ( berupa sertifikat), maka tanah yang awalnya dalam konsep masyarakat adat bersifat sakral malah bergeser menjadi fungsi ekonomi semata.
Jadi hubungan manusia dengan alam rusak ketika hutan, laut dan sungai diperlakukan hanya sebagai cadangan makanan atau sebagai obyek yang dieksploitasi saja.
Sementara program-program dari pemerintah yang terkait dengan masyarakat adat lebih banyak bersifat karitatif dibanding menempatkan mereka menuju masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Dalam pendekatan kapitalistik oleh negara, masyarakat adat sering dianggap penghambat pembangunan. Dengan memaksakan masyarakat adat berinteraksi dengan negara, posisinya menjadi lemah dan kebijakan tersebut "membunuh masyarakat adat".
Jikalau pemerintah atau negara memihak kepada masyarakat adat, negara harus melindungi heterogenitas dan jangan melakukan penyeragaman.
Negara musti bertindak dengan segala aturan hukumnya untuk memberikan perlindungan terhadap adat dengan cara dilibatkan dan diberi ruang dalam perencanaan pembangunan.
Dan bukan sekedar sebagai obyek penderita. Setiap pembahasan rancangan undang-undang, kelompok adat dilibatkan agar mereka sebagai subyek bernegara menjadi lebih berperan secara setara.
Lantas bagaimana negara menguatkan dan bertanggung jawab terhadap keberadaan masyarakat adat adalah melalui langkah strategi kebudayaan yang tidak menindas dan mengintimidasi kelompok-kelompok minoritas, tapi harus dikomposisikan sama.
Jadi kurang lebihnya maksud dari strategi kebudayaan tersebut adalah:
1. Menempatkan manusia atau orang-orang yang tinggal pada satu hamparan negeri tanpa diskriminasi dan intimidasi pada kelompok-kelompok lemah itu.
2. Semua orang dan semua warga yang tinggal di hamparan negeri ini harus diperlakukan sama dan masing-masing sebagai subyek kebudayaan dan subyek bernegara.
3. Tindakan-tindakan oleh yang kuat untuk menyamakan arah dan pandangan harus dihindari karena masing-masing kelompok pasti tumbuh dengan problem-problem yang dihadapi secara berbeda.
Maka setiap kelompok pasti melahirkan peradaban yang berbeda pula. Sehingga semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar slogan dan bunga-bunga pidato para elit.
Tapi harus mengejawantah di dalam pandangan, tindakan dan program pemerintah. Serta harus berkaki di dalam setiap undang-undang dan peraturan dalam segala tingkatannya yang ada di negeri ini.
* Patricia Leila Roose.SH, MH, Alumni Magister Hukum Universitas Bung Karno, praktisi hukum dan pengamat Hukum Tata Negara. Dalam kunjungan Reflektif Masyarakat adat Tengger Di Gn. Bromo.
*Disampaikan pada diskusi kamisan 7 November 2019 diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Magister Hukum UBK