Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Dalil Syari Zikir Hu: Menjawab Ustadz Adi Hidayat dan Khalid Basalamah

Zikir Hu yang lazim di kalangan tarekat dituduh menyimpang dari Al Quran dan Hadis.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Dalil Syari Zikir Hu: Menjawab Ustadz Adi Hidayat dan Khalid Basalamah
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Alumnus Univeraitas al Azhar Mesir, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Wakil Ketua Rabithah ma'ahid Islamiyah- asosiasi pondok pesantren se Indonesia- Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU) periode 2010-2015. 

Dalil Syar’i Zikir Hu: Menjawab Ustad Adi Hidayat dan Khalid Basalamah

Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

Merebaknya panggung hiburan merangsang ustad-ustad selebritis tampil tanpa ilmu pengetahuan. Ustad Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Yazid Abdul Qadir Jawaz, dan yang kelasnya selevel, mudah sekali berfatwa dengan merendahkan amalan orang lain.

Salah satunya zikir “hu” yang lazim dalam komunitas tarekat, dituduh menyimpang dari al-Quran dan Hadits.

Tentu saja ajaran ustad-ustad keblinger itu menyakiti hati umat muslim sekaligus menistakan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Bagaimana mungkin kita berpegang pada ujaran kebencian ustad-ustad selebritis itu, sementara kita memiliki ulama besar seperti misalnya Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Mulk bin Thalhah Abul Qasim al-Qusyairi as-Syafi’i al-Asy’ari adalah ulama besar di bidang fikih, tafsir al-Quran, hadits, ushul fiqih, bahkan sastra dan puisi.

Al-Qusyairi adalah pemimpin sufi dunia, yang menulis banyak kitab, seperti: ar-Risalah al-Qusyairiyah, Lathaiful Isyarat, Kitab al-Qulub al-Shaghir dan al-Kabir, Syikayat Ahkam al-Sima’, Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu, Diwan Syi’r, al-Qashidah al-Shufiyah, al-Haqaiq wa al-Raqaiq, Adab al-Shufiyah, Kitab al-Jawahir, Kitab al-Munajat, Risalah Tartib as-Suluk, Bulghah al-Qashid, Mantsurul Khitab fi Masyhurul Abwab, ‘Uyunul Ajwibah fi Ushul al-Asilah. Terakhir, kitab Syarh Asma Allah al-Husna, di mana al-Qusyairi menjelaskan nama-nama Allah berdasarkan dalil Sya’ri, seperti zikir “Hu” ini.

Jika ustad-ustad Wahhabi seperti Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Yazid Abdul Qadir Jawaz membutuhkan dalil syar’i tentang zikir “Hu”, maka bacalah kitab al-Qusyairi ini, tentang lima tingkatan kelas manusia: pertama, orang awam (al-awam). Orang awam adalah kelas terbawah, karena mereka membutuhkan penjelasan panjang lebar dan detail untuk mengerti tentang Allah swt. Ayat yang menjadi sandaran mereka adalah “Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Dan tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia,” (Qs. Al-Ikhlash: 3-4).

Berita Rekomendasi

Kedua, saintis (al-‘uqala’). Golongan saintis ini lebih tinggi satu tingkat dari orang awam, karena mampu menerima penjelasan abstrak. Seorang saintis membutuhkan rasionalitas, dan salah satu ciri rasionalitas itu hukum sebab-akibat.

Segala sesuatu butuh sebab, dan Allah adalah sebab dari segala akibat. Allah adalah sebab/sandaran (al-shomad) dari segala “yang-ada”. Ayat yang menjadi sandaran kaum ilmuan ini adalah “Allah adalah Sandaran (al-Shomad),” (Qs. Al-Ikhlash: 2).
Ketiga, ulama (al-‘ulama). Hukum sebab-akibat sering tidak berlaku dalam kehidupan ini, di mana satu peristiwa kadang terjadi tanpa sebab yang terditeksi. Ilmuan sering kebingungan menjelaskan fenomena semacam itu.

Namun, kaum ulama yang kelas inteleknya lebih tinggi dari ilmuan mampu menerima dan memahaminya sebagai bentuk kuasa Allah swt. Allah swt Yang Maha Esa (Ahad) berada di balik segala “yang-ada”. Ayat yang menjadi sandaran kaum ulama ini adalah kata Ahad dalam “Katakanlah: Dia adalah Allah yang Ahad,” (Qs. Al-Ikhlash: 1).

Keempat, golongan pecinta (al-mutayyimun). Golongan ini jauh “melampaui” kelas saintis maupun ulama, karena akal tidak lagi menjadi sandaran, melainkan cinta dalam hati sebagai sumber pegangannya.

Tentu orang awam sudah tidak tahu apa-apa tentang rasa cinta kelompok ini, tetapi orang awam yang berhasil naik kelas ke golongan uqala’, lalu naik lagi ke golongan ‘ulama, baru ia bisa naik kelas ke golongan mutayyimun. Pegangan utama golongan keempat ini adalah kata Allah dalam ayat “Katakanlah: Dia adalah Allah,” (Qs. Al-Ikhlas: 1).

Kelima, golongan kekasih Allah (al-muhibbun). Lebih tinggi lagi dari mutayyimun adalah muhibbun. Kekasih Allah memiliki tingkat yang lebih tinggi karena cinta bersifat dialogis-interaktif; antara manusia dan Allah. Sedangkan cinta golongan mutayyimun masih bersifat monolog; satu arah, dari manusia ke Allah. al-Qusyairi mengatakan, golongan muhibbun ini sudah cukup dengan kata “Hu” atau “Dia” dalam ayat, “Katakanlah: Dia...” (Qs. Al-Ikhlas: 1). Kata “Hu” ini adalah nihatut tahqiq atau puncak tertinggi manusia menerima realitas Allah swt (Imam al-Qusyairi, Syarh Asma Al-Husna, Beirut: Dar Kutub Ilmiah, 1971, hlm. 63-64).

Dalam sejarah kegemilangan ilmu pengetahuan Islam memang harus diakui ada duri dalam daging. Mau tidak mau harus diterima sebagai kenyataan bahwa kehadiran Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah abad 14 M. adalah ganjalan.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas