Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dalil Syari Zikir Hu: Menjawab Ustadz Adi Hidayat dan Khalid Basalamah
Zikir Hu yang lazim di kalangan tarekat dituduh menyimpang dari Al Quran dan Hadis.
Editor: Husein Sanusi
Puritanisme Islam mulai disemai, dan kelak tumbuh subur di era kebangkitan gerakan Wahhabisme abad 18 M oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Intelektualisme didangkalkan, dan orang diperbolehkan belajar al-Quran al-Hadits tanpa memerlukan ilmu-ilmu bantu yang diperlukan.
Dalam kitab Majmu’ Fatawa, Syeikh Ibnu Taimiyah jelas dan terang mengatakan bahwa berzikir yang benar adalah dengan mengucapkan La ilaha illallah. Sedangkan orang yang berzikir dengan mengucapkan: “Ya Huwa..” atau “Huwa..” adalah bi’dah. Ibnu Taimiyah menggaris bawahi bahwa umat muslim tidak diperbolehkan berzikir dengan isim mufrad dari nama Allah (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, jilid 10, hlm. 226-229).
Ciri utama gerakan Wahhabisme ini memang memberangus habis ilmu pengetahuan sebagai cara mempelajari al-Quran. Salah satunya adalah ilmu Balaghah, yang di sana terdapat banyak pembahasan tentang tasybih, ijaz, ithnab, isti’arah, dan lainnya. Jika semua teori linguistik sastra Arab ini dipakai, tentu berzikir “Hu” sudah mencukupi untuk mengganti zikir “La Ilaha Illallah”. Kata “Hu” akan menampung makna “Allah”, “Ahad,” “as-Shomad,” dan “Lam yalid walam yulad walam yakun lahu kufuwan ahad”.
Karena dalam kata “Hu” ini teori-teori tasybih, ijaz, ithnab, dan isti’arah berlaku (Muhammad Mustofa Haddarah, Fil Balaghah al-Arabiyah: ‘Ilm al-Bayan, Beirut: Dar al-Ulum al-Arabiyah, 1989, hlm. 128-129).
Mengabaikan ilmu pengetahuan dalam mempelajari agama bukan saja berbahaya pada kalangan umat terbatas, umat muslim khususnya. Tetapi, perilaku semacam itu juga mengancam nilai-nilai kebangsaan dan kehidupan bernegara.
Pemahaman Islam yang sempit, dipelajari dengan cara yang sempit, mendorong umat bereaksi dengan cara-cara yang dangkal dan sempit. Ujaran kebencian atas nama agama, atau fatwa-fatwa entertain dari ustad-ustad selebritis, meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Pada saat bangsa-bangsa lain sudah meneliti ruang angkasa, kita masih berkutat dengan fatwa hukum halal-haram bermain catur, zikir “hu..hu”, “memilih jadi anjing Rosulullah,” dan entah apa lagi di masa depan. Nauzubillah.*
**alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.