Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Belajar dari Kekalahan di Final Lawan Vietnam
Berbagai pelanggaran oleh pemain Vietnam yang harusnya diberikan kartu merah malah tidak diberikan kartu kuning sekalipun.
Editor: Dewi Agustina
Kesalahan inilah yang harus dibayar Indonesia dengan tiga gol.
Gol pertama dari tendangam bebas dan lagi-lagi pemain lawan dibiarkan bebas mejebloskan bola ke gawang Indonesia.
Gol kedua, lahir lantaran kegegabahan pemain Indonesia.
Kendati sudah tertinggal satu gol dan masih terus ditekan, pemain belakang kita masih berani mengoper dan bermain “satu dua” di daerah pertahanan sendiri, padahal disana banyak lawan.
Tak pelak lagi, tatkala salah operan, pemain Vietnam sudah siap menjaga segala kemungkinan di arena gawang Indonesia.
Tak heran setelah kiper Indonesia menepis bola, penyerang lawan lebih siap dari pemain belakang kita: gol.
Penjagaan Berlapis!
Di depan penyerang Indonesia kurang suplai bola. Cara menyerang Indonesia sudah dipelajari dengan baik oleh Vietnam.
Kecepatan pemain Indonesia diredam melalui cara penjagaan berlapis sehingga tususkan lewat sayap yang sebelumnya begitu berbahaya, menjadi hilang kekuatannya.
Juga rada mengherankan manakala Indonesia telah ketinggalan, kesebelasan Indonesia tidak mempercepat tempo permainan untuk mengejar waktu.
Seakan ketinggalan bukalah perkara luar biasa.
Padahal seharusnya setelah tertinggal, Indonesia harus meningkatkan tempo permainan setinggi-tingginya untuk mengejar ketinggalan.
Dalam pertandingan final yang bersifat hidup mati, seharusnya tak ada pilihan lain buat Indonesia: menyerang dan menciptakan gol sebanyak mungkin.
Soalnya, di final, kalah 1-0 sama saja dengan kalah silisih berapa pun. Jadi, tak ada alternatif lain: serang dan bobol gawang lawan.
Kita sudah sampai final, kita harus memilih menang atau mati. Kita harus menjebak Vietnam dengan agresifitas.
Kita tidak boleh bermain bertahan sebagaimana telah mereka bayangkan, tetapi bermain menyerang, keras dengan variasi operan pendek-panjang.
Dengan begitu Vietnam akan “bingung” lantaran antisipasi yang sudah mereka siapkan tak bekerja.
Tapi rupanya malam itu kita yang mengikuti pola Vietnam sehingga kita di belakang rent dan di depan tumpul.
Prinsip yang harus diterapkan di pertandingan final, gawang kita kebobolan banyak, tak masalah, asal kan kita lebih banyak membobol gawang lawan.
Semangat seperti itu tak terlihat pada tim Indonesia di final.
Sistem yang diterapkan tidak mengubah pemain Indonesia untuk “habis-habisan adu banyak gol.”
Harus Berani Belajar dari Kesalahan
Kita bukan menafikan prestasi Indonesia sampai berhasil masuk final. Kita hormati itu.
Kita apresiasi terhadap perjuangan para pemain kita di lapangan.
Kita juga respek atas pemikiran pelatih Indra Safri mengapai hasil itu. Kita juga bukan tidak nasionalis.
Kita tetap dukung dan menjunjung tinggi Indonesia. Kita tetap mencintai Indonesia.
Namun kesemua itu tidaklah membuat kita harus menyembunyikan fakta tentang kekurangan tim Indonesia.
Kesebelasan kita di masa depan hanya bakal maju, jika kita semua mau belajar dari kesalahan yang ada yang telah kita lakukan di final lawan Vietnam.
Pelajaran bagaikan obat: pahit tapi menyembuhkan.
Para pemain Indonesia masih muda dan berbakat. Mereka masih dapat meroket dan menorehkan prestasi, asal semua pihak mau belajar dari kekalahan.