Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Anies, Antara Tata Kota dan Tata Kata
Anies menyebut Greta sebagai sosok yang berhasil menggerakkan dunia dengan kata-kata.
Editor: Hasanudin Aco
Katanya, "Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.”
Dalam kesehari-harian, kata Tardji, kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Kata dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian, dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Kata-kata, tegas Tardji, haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
“Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu mereka seperti Kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat kepada kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika. Bila kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif,” kata penyair kelahiran Riau itu (http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/KredoPuisi).
Anies tampaknya juga menafikan apa kata WS Rendra (1935-2009). Penyair berjuluk Si Burung Merak itu menyatakan, “Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”
Bagi Anies, sebuah pekerjaan mungkin cukup berhenti atau selesai pada kata-kata atau bila sudah dikatakan, tidak perlu tindakan lebih lanjut.
Sebaliknya bagi Rendra, kata-kata adalah sekadar kata-kata itu sendiri, yang harus di-follow up dengan tindakan atau perjuangan, sehingga kata-kata menjadi bermakna, karena perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
Mungkin karena sering “memperkosa” kata-kata itulah maka tidak ada kreativitas dari Anies dalam menata kota. Ia berhenti sebatas sebagai ahli tata kata, bukan tata kota.
Alhasil, ketika Greta Thunberg dinobatkan sebagai “Person of the Year 2019”, Anies pun seakan mendapat legitimasi moral. Itulah!
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.