Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Industri Kelapa Sawit Dalam Negeri dan Tantangan Perang Dagang Uni Eropa

Pendekatan konstruktif melalui diplomasi bilateral dengan negara-negara Uni Eropa juga diperlukan untuk meredakan ketegangan perang dagang

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Industri Kelapa Sawit Dalam Negeri dan Tantangan Perang Dagang Uni Eropa
Sawit 

Lalu apa sebenarnya yang melatarbelakangi Uni Eropa melakukan diskriminasi kelapa sawit Indonesia, apakah hanya semata-mata strategi politik dagang untuk membendung ekspor kelapa sawit Indonesia karena dikhawatirkan akan mendesak minyak nabati Eropa (SFO, RSO). Jika kita cermati Uni Eropa menjalankan kebijakan moratorium minyak sawit melalui RED II dengan dalih komitmen mereka dalam melawan perubahan iklim sesuai Perjanjian Paris 2015.

Uni Eropa menganggap bahwa pembatasan impor terhadap kelapa sawit perlu dilakukan mengingat ekspansi perkebunan sawit memiliki risiko yang tinggi terhadap deforestasi dan kerusakan lahan. Alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama deforestasi hutan, sedangkan satu hektar hutan hujan tropis yang dialihfungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit menghilangkan potensi serapan emisi karbon hingga mencapai 174 ton.

Selain itu, European Commission menilai bahwa proses produksi biodiesel sawit menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar. Emisi tersebut berasal dari aktivitas pengalihan fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit, dan diklaim bisa melepaskan gas rumah kaca sampai 3 kali lipat lebih besar daripada pembakaran energi fosil.

Melihat fakta tersebut, tak mengejutkan apabila Uni Eropa menganggap biodiesel sawit dinilai dapat berdampak negatif bagi ketahanan iklim global. Belum lagi soal ekosistem dan keanekaragaman hayati yang terancam akibat aktivitas alih fungsi lahan sawit tersebut, banyak terjadi kasus orang utan di Indonesia yang diburu oleh pengusaha dan petani kelapa sawit karena dianggap sebagai hama perusak kebun kelapa sawit, padahal yang terjadi adalah hutan tempat tinggal mereka sudah berubah menjadi kebun sawit.

Secara objektif tidak dapat dipungkiri bahwa geliat industri kelapa sawit membawa dampak negatif terhadap ekosistem dan ketahanan lingkungan dalam negeri dan global. Namun di sisi lain, kondisi ini kontradiktif apabila kita sandingkan dengan besarnya potensi industri kelapa sawit dalam menyokong perekonomian nasional.

Kelapa sawit sangat cocok dikembangkan di negara iklim tropis dengan kondisi geografis dan demografis seperti di Indonesia. Industri sawit sejauh ini mampu menyerap 5,5 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Total nilai ekspor kelapa sawit sepanjang tahun 2018 sebesar US$ 21,4 miliar, dan ini merupakan komoditas terbesar melebihi ekspor migas. Tak pelak lagi industri kelapa sawit harus mendapatkan perhatian khusus untuk kepentingan ekonomi nasional, dengan tetap menjaga pelestarian lingkungan, dan keberlanjutan industri.

Seyogyanya Pemerintah, bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan pegiat industri kelapa sawit dalam negeri dapat segera duduk bersama untuk mencari solusi jalan tengah terkait permasalahan tata kelola industri kelapa sawit berkelanjutan yang ramah lingkungan. Diperlukan forum bersama yang dapat melakukan pengelolaan dan pemantauan tata kelola industri kelapa sawit berkelanjutan di setiap provinsi yang memiliki industri kelapa sawit.

Berita Rekomendasi

Upaya-upaya yang dapat dilakukan Pemerintah dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat sebagai solusi persoalan industri kelapa sawit dalam negeri diantaranya:

(1) konservasi keanekaragaman hayati dan landscape perkebunan kelapa sawit;

(2) pencegahan kebakaran kebun dan lahan melalui pendekatan civil society dan whistleblowing system;

(3) pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk membangun early warning system pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan;

(4) menindak tegas oknum aparat penegak hukum dan pemerintah daerah yang terbukti bermain mata dengan pengusaha dalam perusakan ekosistem lahan;

(5) melakukan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi potensi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di perkebunan kelapa sawit;

(6) peningkatan pemanfaatan lahan kritis sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca dalam perkebunan kelapa sawit;

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas