Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Catatan Akhir Tahun: Quo Vadis BIN?
Saya hanya ingin mengulas betapa pentingnya eksistensi lembaga intelijen negara untuk mengawal, mengamankan dan melindungi negara ini.
Editor: Hasanudin Aco
Kepala BIN yang sekarang pun juga seorang polisi. Sejatinya pada saat lembaga intelijen negara dipegang oleh tentara atau polisi, hal itu sudah melawan "khittah" sebuah lembaga intelijen negara yang seharusnya ber-DNA sipil.
Di hampir semua negara demokrasi di dunia ini kepala intelijen negara selalu dipegang sipil.
Pedoman bertindak dan mengambil keputusan seorang tentara adalah hukum humaniter, dan kepolisian selalu tunduk pada hukum pidana.
Sedangkan fungsi dasar kerja intelijen adalah tunduk pada politik negara di bawah kendali Presiden.
Menilik dari hal tersebut, sebetulnya penunjukan seorang Kepala BIN dari militer atau kepolisian sudah melanggar genetika dasar sebuah badan intelijen negara.
Di sisi lain, lembaga intelijen negara juga harus bebas dari kooptasi kepentingan kelompok atau partai tertentu.
Pada saat seorang kepala intelijen negara sudah dipersepsikan oleh masyarakat sebagai representasi sebuah partai politik atau kelompok tertentu, secara otomatis 'public trust' terhadap produk atau out put kerja dari lembaga intelijen negara akan sangat rendah.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa seyogyanya lembaga intelijen negara dikembalikan ke "khittah"-nya sebagai lembaga sipil yang independen.
Kepala intelijen negara juga seharusnya dijabat sipil yang berintegritas tinggi, independen dan mempunyai loyalitas tinggi kepada negara.
Harapan ini yang ingin saya sampaikan kepada Presiden Jokowi agar segera menunjuk Kepala BIN dari unsur sipil dan sekaligus meluruskan kembali tata kelola lembaga intelijen negara agar dapat berfungsi seperti seharusnya.
Saran saya sebaiknya calon Kepala BIN adalah seorang sipil yang mempunyai komitmen untuk mengurai titik simpul di wilayah rawan seperti Papua dan Aceh.
Kalau kedua daerah ujung tersebut stabilitas politik dan keamanannya dapat terkendali, saya punya keyakinan permasalahan di wilayah lain dapat dikelola dengan lebih baik lagi.
Dari pengamat saya, beberapa figur sipil yang ada yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang tinggi serta mempunyai koneksi yang kuat dengan berbagai kelompok di Papua, Aceh serta daerah lain adalah Suhendra Hadikuntono.
Sosok Suhendra ini memiliki kriteria yang sangat layak untuk menjadi nakhoda BIN karena di samping mempunyai kemampuan tinggi dalam menganalisis suatu masalah, juga tidak punya kaitan dengan partai dan kelompok mana pun di negeri ini.
Semoga masukan ini mendapat perhatian dari Presiden Jokowi dan bisa menjadi solusi jitu untuk keluar dari problema silang sengkarut kepentingan terhadap jabatan Kepala BIN. Supremasi sipil dan independensi adalah kata kuncinya.