Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Benang Merah Pembelaan Muslim Uyghur dan Krisis Natuna, Jual Beli Polemik Indonesia-Cina
Provokasi Cina di Natuna pun otomatis sia-sia. Termasuk isu Indonesia berkiblat pada komunis China sejatinya tidak kuat.
Editor: Husein Sanusi
Benang Merah Pembelaan Muslim Uyghur dan Krisis Natuna, Jual Beli Polemik Indonesia-Cina
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
Presiden Cina Xi Jinping sudah mengumumkan pada dunia, “kami tidak ingin memulai masalah tetapi kami tidak takut terlibat dalam masalah.”
Dalam kacamata hubungan internasional, provokasi Cina di pulau Natuna dapat dipahami sebagai “uang kembalian” atas provokasi sebagian Muslim Indonesia tentang kasus Uyghur.
Bermodalkan paradigma sempit dalam memahami konstelasi politik internasional, sekelompok kecil yang menamakan Aliansi Umat Islam menggeruduk Konjen Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya. Mereka meneriakkan “Aksi Bela Uyghur”.
Tentu saja Pemerintah RRT menempuh jalur penyelesaian yang elegan, dengan mengundang dua ormas terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah) untuk berkunjung. Dua ormas ini pun berhasil meredam permainan politik receh oknum-oknum radikal di Indonesia, sehingga isu Uyghur tidak lagi menarik digoreng.
Tetapi, dalam konstelasi politik internasional, NU dan Muhammadiyah kena getahnya. Dua ormas besar ini mendapat “tuduhan miring” dari negara super power musuh bebuyutan Tiongkok, yakni Amerika.
Sebab, jauh hari sebelum kasus Uyghur ini menghangat, topik perang dagang Xi Jinping dan Donald Trump sudah jadi framework politik internasional.
Laporan the Wall Street Journal (WSJ) pun harus menyebutkan bahwa Cina merayu sejumlah organisasi Islam Indonesia agar tak lagi mengkritik Beijing soal kebijakan di Xinjiang.
Mau tidak mau, NU dan Muhammadiyah harus menerima konsekuensi logis ini. Ditambah lagi, WSJ buta soal peta politik keagamaan di Indonesia, di mana tujuan utama NU dan Muhammadiyah untuk meredam isu yang mau dimainkan kelompok radikalis-fundamentalis.
Meredamnya kasus Uyghur berkat kolaborasi sikap NU-Muhammadiyah berbuntut panjang. Berdasar sikap politik Xi Jinping, “tidak mau bikin masalah, tapi tidak takut terlibat dalam masalah,” maka sah apabila Cina menantang kekuatan militer Indonesia dalam kasus Natuna ini. Jika Indonesia sempat memulai masalah kecil untuk Cina, kini tiba giliran mereka balas dendam.
Dalam konteks politik international, itu disebut arm race (perlombaan senjata). Sikap politis Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto, sudah tepat dengan mengatakan Cin sebagai negara sahabat.
Bagaimana pun, provokasi militer Cina tidak bisa dibalas dengan kekuatan militer serupa. Cina secara militer adalah tandingan Amerika.
Dalam konteks adu tanding kekuatan militer ini, pernyataan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kurang tepat.