Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Adu Gengsi Iran-Amerika dan Potensi Sistemik Menuju Perang Dunia III

Sikap Amerika yang meremehkan kehancuran dan kematian ini dibalas dengan statement yang juga bernada meremehkan oleh Iran

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Adu Gengsi Iran-Amerika dan Potensi Sistemik Menuju Perang Dunia III
Pesantren Bina Insan Mulia/Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Adu Gengsi Iran-Amerika dan Potensi Sistemik Menuju Perang Dunia III

Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

Serangan Iran yang menewaskan 80 tentara Amerika di Ain al-Assad, Irak, memicu "kebanggaan" di hati Presiden Amerika Donald Trump. Trump mengatakan, "we have the most powerful... I will be making statement tomorrow!". Kecongkakan itu tampak dengan merasa sepele kematian manusia.

Sikap Amerika yang meremehkan kehancuran dan kematian ini dibalas dengan statement yang juga bernada meremehkan oleh Iran. Presiden Hassan Rouhani mengatakan, "kamu memotong tangan Jenderal Soleimeni, kami akan memotong kehadiranmu di kawasan".

Diperkuat dengan pernyataan Ayatullah Khamenei yang mengatakan: "pembalasan Iran pada Amerika Only a slap, hanya sebuah tamparan kecil". Artinya, keruntuhan Amerika di kawasan Timur Tengah hanya akibat tamparan kecil, belum tinjuan dan tendangan yang lebih keras. Dan kekuatan jauh lebih besar itu masih disimpan.

Perang fisik akan diwarnai dengan perang psikis, di mana setiap kubu akan meremehkan kubu lainnya. Sementara kemarin, sesumbar Iran dengan kalkulasi telah memenangkan perang di Irak, mengumumkan target berikutnya: Uni Emirat Arab dan Israel.

Tentu, Perdana Menteri Israel Netanyahu langsung menegaskan di Kohelet Forum, yakni organisasi think tank nirlaba Israel: "siapa pun menyerang Israel pasti akan menderita dengan penderitaan yang jauh lebih berat."

Dalam situasi saling meremehkan satu sama lain ini, sangat mungkin terjadi apa yang diprediksi oleh Presiden Irak Adil Abdul Mahdi; "tensi di Irak akan menyebabkan perang meluas di seluruh kawasan Timur Tengah, bahkan perang dunia."

Bagaimana jika Perang Teluk terjadi, lalu meningkat ke Perang Dunia? Jawaban itu kita bisa temukan dari sikap Rusia ketika Presiden Vladimir Putin bertemu Bassar al-Assad.

Kemudian dari sana, Direktur Urusan Internasional Rusia Andrey Kortunov melontarkan pernyataan yang tegas: "selama stabilitas menurun, kekacauan meningkat, maka sikap dan kehadiran Rusia di Timur Tengah sudah jelas, tidak sama dengan Amerika, yang berubah tanpa bisa diprediksi."

Yang menarik adalah sikap Turki, yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu. Ia datang ke Irak dengan misi meredakan perlawanan Iran. Kita tahu bahwa posisi Turki strategis. Di satu sisi, Turki berkepentingan di Timur Tengah, yakni membela Palestina dari invasi Israel. Di sisi lain, Turki ingin "menjadi Eropa", sehingga sudut pandangnya bisa ganda.

Turki tahu bahwa Perancis sudah bergerak sedikit lebih jauh dari hari sebelumnya. Ketika Perancis bermusyawarah dengan Inggris dan Jerman, European Three (E3) ini masih mengecam Iran dalam konteks penarikan diri Iran dari kesepakatan nuklir tahun 2015. Tetapi, ketika Ain Assad, pangkalan Amerika di Irak hancur oleh roket Iran, Perancis sudah jauh bersikap. Yakni, mengutuk serangan Iran.

Dengan begitu, kedatangan Turki ke Irak tidak sekedar menasihati Iran agar berhenti, tetapi sedang berupaya agar perang terbatas saja di Timur Tengah atau Perang Teluk saja. Sebab, potensi Perang Teluk bermetamorfosis menjadi Perang Dunia III sangat mungkin, dengan melihat Perancis yang mulai gatal untuk terlibat.

Tampaknya, sekalipun Arab Saudi adalah rival regional Iran dalam banyak hal, terkait perang proksi antara Iran versus Amerika di Irak ini, Saudi ambil sikap unik, yakni mirip dengan Turki. Jika Turki datang ke Irak untuk deeskalasi tensi perang, Deputi Menteri Pertahanan Saudi Pangeran Khalid bin Salman datang ke Washington Senin kemarin untuk visi deeskalasi serupa.

Alasan Arab Saudi yang paling kuat untuk tidak terlibat perang lebih jauh karena penyerangan Jenderal Qassem Soleimeni tanpa konsultasi dulu dengan Saudi. Tampaknya, posisi ini belum berubah sampai tulisan ini dibuat.

Nada yang serupa dengan Turki dan Saudi adalah China. Kita semua tahu, China dan Rusia di level internasional adalah anti-tesa Eropa dan Amerika. China menempuh jalur politik yang serupa Turki. Geng Shuad, Jubir Menteri Luar Negeri China, mendesak agar semua pihak menahan diri untuk menghindari eskalasi yang terus meninggi.

Dengan demikian, Perang Iran-Amerika di Irak berpotensi meluas jadi Perang Teluk, dan berpotensi jadi Perang Dunia, selama masing-masing negara mengedepankan gengsi masing-masing. Seperti tertangkap dari sikap-sikap Iran, Amerika, Irak, Israel, Perancis dan Rusia. Tetapi, jika gengsi itu dibuang jauh-jauh, menahan diri, seperti seruan Turki dan China, maka kemungkinan-kemungkinan terburuk akan usai.

Dalam kontestasi politik internasional semacam ini, tampaknya, Indonesia harus segera mempertegas sikap politik "bebas-aktif" dan gerakan non-bloknya. Iran dan Indonesia memiliki kesamaan sebagai negara muslim. Dan kepada negara muslim lain seperti Arab Saudi, Indonesia dapat mendukung agar tetap pada posisi sementara ini, yakni tidak terlibat perang. Sungguh sangat tidak elok, negara yang beragama Islam berlumur kekerasan, kecuali memang demi mempertahankan diri.

*Penulis adalah Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.


Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas