Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
China Berspekulasi di Laut Natuna Utara
Respons TNI menghadang dan menghalau kapal pencuri ikan asal China di Laut Natuna memang cukup dibatasi pada konteks penegakan hukum pidana perikanan.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI, Kepala Badan Bela Negara FKPPI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Respons TNI menghadang dan menghalau kapal pencuri ikan asal China di Laut Natuna memang cukup dibatasi pada konteks penegakan hukum pidana perikanan.
Baca: POPULER: Pengamat Sayangkan Kedatangan Jokowi ke Natuna, Harusnya Cukup Dua Pejabat Ini
Baca: Cerita Nelayan yang Pernah Perang Botol dengan Kapal Taiwan di Natuna: Keamanan Harus Dijaga
Kalau China coba mengeskalasi persoalan menjadi konflik pemilikan atau penguasaan wilayah perairan Natuna, masyarakat Indonesia tak perlu emosional menanggapi klaim sepihak itu.
Karena wilayah perairan Natuna sebagai teritori Indonesia sudah final, seturut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut alias United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang mulai berlaku sejak 1994.
Baca: Klaim Sepihak China atas Laut Natuna, Moeldoko: Kapal Pencuri Ikan Tak Bisa Langsung Ditenggelamkan
Tidak hanya itu. Klaim China atas perairan Natuna bahkan sudah dimentahkan atau ditolak pengadilan. Seperti diketahui, Pengadilan Arbitrase Internasional tentang Laut China Selatan pada 2016 memutuskan bahwa klaim China tentang sembilan garis putus-putus di Perairan Natuna sebagai batas teritorial laut China tidak mempunyai dasar historis.
Kemudian, bukan cerita baru kalau Beijing menolak atau menentang keputusan Arbitrase Internasional itu. China akan terus merongrong keputusan Arbitrase Internasional itu dengan aksi atau tindakan provokatif di Laut Natuna, sekarang ini dan juga seperti tahun-tahun terdahulu.
Baca: Bakamla Sebut Kapal Indonesia Tak Miliki Senjata, Najwa: Bagaimana Mau Mepet Kalau Cuma Keris?
Provokasi China di Perairan Natuna tampak nyata pada pekan kedua Desember 2019 itu. Puluhan kapal ikan mereka yang masuk perairan Natuna dikawal pasukan penjaga pantai (Coast Guard) plus kapal perang fregat. Dalam konteks kepentingan nasional, Indonesia boleh menuduh China melindungi nelayan mereka mencuri di Perairan Natuna.
Nelayan, coast guard dan kapal perang China nyata-nyata melanggar exclusive economic zone (ZEE) Indonesia serta melakukan kegiatan IUUF (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing).
Baca: Natuna Diserbu Kapal Laut China, Kepala Bakamla: Tidak Masalah Walaupun Tidak Bersenjata
Hingga Minggu (5/1), kapal-kapal China itu masih bertahan di Laut Natuna. TNI tetap persuasif dengan memperingatkan bahwa mereka sudah menerobos sekaligus menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna.
Modus yang sama juga dilakukan China pada Maret 2016. Kapal ikan mereka masuk dengan cara ilegal ke Perairan Natuna. Tujuannya tak lain mencuri ikan. Upaya penangkapan kapal itu lagi-lagi dihalang-halangi oleh kapal Coast Guard China. Jadi, semacam rencana bersama mencuri ikan yang diketahui dan melibatkan organ resmi Pemerintah China.
China juga angkat bicara menentang inisiatif Indonesia merubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada Juli 2017, ketika Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta baru Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca: Natuna Diserbu Kapal Laut China, Kepala Bakamla: Tidak Masalah Walaupun Tidak Bersenjata
Peta baru itu fokus pada perbatasan laut Indonesia dengan negara lain, sekaligus membuat kejelasan hukum di laut dan mengamankan ZEE Indonesia. Inisiatif Indonesia ini dikecam Beijing. Waktu itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, menilai penggantian nama itu tak masuk akal.
Pencurian ikan yang direncanakan serta kecaman terhadap perubahan nama itu merefleksikan pendirian China menolak keputusan Arbitrase Internasional itu. "Posisi dan proposisi China mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS.
Apakah Indonesia terima atau tidak, penolakan tidak akan mengubah fakta objektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan atas perairan terkait," kata Geng Shuang, Kamis (2/1).
China bahkan kembali menegaskan sikapnya menolak keputusan pengadilan arbitrase internasional dan menilai keputusan pengadilan itu yang justru ilegal dan tidak berlaku.