Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

"Banteng Ketaton"

PDIP ibarat "Banteng Ketaton", meminjam istilah Ronggo Lawe, maharesi yang hidup di zaman keemasan Kerajaan Majapahit.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in
Ist/Tribunnews.com
Karyudi Sutajah Putra. 

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM -  Hanya ada satu kata: lawan!

Sebaris kalimat dalam puisi "Peringatan" (1996) karya Wiji Thukul (1966-...) ini tampaknya menjadi kredo pamungkas PDI Perjuangan, kini.

Pasca-kadernya, Harun Masiku, ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka suap Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024, partai politik berlambang kepala banteng ini melakukan perlawanan sengit.

PDIP ibarat "Banteng Ketaton", meminjam istilah Ronggo Lawe, maharesi yang hidup di zaman keemasan Kerajaan Majapahit.

Seperti banteng, binatang sejenis sapi berkelamin jantan, yang terluka (ketaton), PDIP "mengamuk" sejadi-jadinya. Bukan hanya terhadap KPK, terhadap pers pun PDIP melawan.

Atau, "O, Amuk, Kapak," meminjam judul buku Tiga Kumpulan Puisi (1981) karya Sutardji Calzoum Bachri (lahir di Riau, 24 Juni 1941).

Berita Rekomendasi

Aksi perlawanan PDIP terhadap KPK dan pers dimulai dengan membentuk tim hukum yang dikoordinatori I Wayan Sudirta, Rabu (15/1/2020).

Pengumuman pembentukan tim hukum PDIP ini dilakukan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang namanya disebut-sebut terkait dengan kasus suap ini.

Hasto bahkan dengan gagah berani menuding kasus suap yang juga melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, dan staf Hasto, Syaiful Bahri, sebagai tersangka ini sebagai upaya pemerasan.

Entah siapa yang dituduh Hasto melakukan pemerasan.

Kamis (16/1/2020), tim hukum PDIP bertemu dengan anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho untuk melaporkan penyelidik/penyidik KPK yang sempat hendak melakukan penggeledahan kantor Hasto di DPP PDIP di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2020).

Berbagai pihak mempertanyakan etika tim hukum PDIP menemui Albertina Ho ini karena kader PDIP Harun Masiku sedang berurusan dengan KPK.

PDIP dianggap melakukan intervensi.

Keesokan harinya, Jumat (17/1/2020), tim hukum PDIP menemui Dewan Pers di Jalan Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat, untuk berkonsultasi sebelum melaporkan sejumlah media massa yang pemberitaannya dianggap merugikan PDIP.  Entah media apa yang dimaksud.

Yang jelas, Wayan Sudirta mengaku akan melaporkan atau tidak melaporkan media tertentu setelah mendapat arahan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP.

Terhadap KPK, PDIP juga mempersoalkan Surat Perintah Dimulainya Penyelidikan (Sprind-Lidik) Wahyu Setiawan yang ditandatangani Ketua KPK yang pada hari itu, Jumat 20 Desember 2019, habis masa tugasnya, yakni Agus Rahardjo.

Menurut Maqdir Ismail, anggota tim hukum PDIP, Sprind-Lidik itu tidak absah karena Agus Rahardjo dan empat komisioner KPK lainnya periode 2015-2019 telah diberhentikan oleh Presiden Joko Widodo pada 21 Oktober 2019.

Memang, Keputusan Presiden (Keppres) No 112/P Tahun 2019 tentang Pemberhentian Dengan Hormat dan Pengangkatan Pimpinan KPK ditandatangani Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019, tapi klausul ketiga Keppres ini menyebutkan, "Keputusan Presiden ini mulai berlaku sejak pengucapan sumpah/janji pejabat sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua Keputusan Presiden ini."

Artinya, pada 20 Desember 2019 pagi atau sebelum Firli Bahuri dan empat komisioner KPK lainnya dilantik Presiden Jokowi sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023, Agus Rahardjo masih sah sebagai Ketua KPK.

Lagi pula, bila mengikuti alur berpikir Maqdir Ismail, berarti sejak 21 Oktober 2019 hingga 20 Desember 2019 pagi KPK tanpa pimpinan, atau terjadi kekosongan kekuasaan atau "vacum of power" di KPK.

Kekuasaan Memabukkan

Bukan kali ini saja PDIP melawan KPK. Ketika pada 2014, KPK menetapkan Jenderal Budi Gunawan, sosok yang diusung PDIP sebagai calon Kepala Kepolisian RI, sebagai tersangka korupsi sehingga menggagalkan pencalonan BG yang sudah disetujui DPR RI itu, PDIP pun meradang dan melawan.

Hasto Kristiyanto, saat itu Plt Sekjen PDIP, kemudian menyerang Abraham Samad, Ketua KPK saat itu, dengan pernyataan-pernyataan pedas yang menyudutkan Abraham.

Abraham kemudian ditetapkan Polri sebagai tersangka pemalsuan dokumen kependudukan teman dekatnya, Feriyani Lim, sehingga harus lengser dari kursi Ketua KPK. Di pihak lain, status tersangka BG digugurkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dari kacamata PDIP, mereka memang pantas meradang. Pasalnya, yang melahirkan KPK adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang saat menjabat Presiden RI meneken Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Namun dalam perjalanannya, KPK ternyata menjadi "anak durhaka". Bila ada kader PDIP korupsi, tak pandang bulu KPK langsung membabatnya.

Sepanjang masa kerja DPR RI periode 2014-2019, sedikitnya ada tiga kader PDIP yang ditangkap KPK karena tersangkut kasus korupsi.

Pertama, anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti, dalam kasus suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Kedua, anggota DPR RI Adriansyah yang dicokok KPK pada 9 April 2015 karena terlibat kasus suap pengurusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Mitra Maju Sukses. 

Ketiga, anggota Komisi VI DPR RI I Nyoman Dhamantra yang terlibat kasus suap pengurusan izin impor bawang putih.

Tragisnya, penangkapan terhadap Adriansyah dan Nyoman Dhamantra dilakukan ketika PDIP sedang menggelar Kongres pada 2015 dan 2019, tak jauh berbeda dengan kasus Harun Masiku yang terjadi menjelang Rakernas PDIP I/2020.

Banyak pula kepala daerah dari PDIP yang ditangkap KPK. Setidaknya ada 10 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dari PDIP.

Mereka antara lain Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Taufiqurrahman, Pangonal Harahap, Bupati Labuhanbatu, dan Supian Hadi, Bupati Kotawaringin Timur.

Puncak perlawanan PDIP dilakukan pada 5 September 2019 lalu saat bersama sembilan fraksi lainnya mengajukan revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai usul inisiatif DPR.

Usulan ini langsung disetujui Presiden Jokowi yang tak lain kader PDIP. Dengan UU yang baru, KPK menjadi semacam "lame duck" (bebek lumpuh). Terbukti dengan gagalnya KPK menggeledah kantor Hasto.

Tidak itu saja, Presiden Jokowi juga mengajukan Firli Bahuri sebagai salah seorang pimpinan KPK yang kemudian dipilih DPR RI. Firli adalah sosok yang sarat kontroversi.

Akankah PDIP kembali menang melawan KPK, dan menang pula melawan pers? Biarlah waktu yang menjawab.

Tapi ada satu pesan yang mesti dicamkan: kekuasaan itu memabukkan!

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas