Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Blog Tribunners

Membaca Silang Sengkarut Omnibus Law

Di Jawa Barat terdapat 282 izin tambang ilegal, di Jawa Timur terdapat 230 izin ilegal.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Membaca Silang Sengkarut Omnibus Law
IST
Riyanda Barmawi, Wasekjen Pengembangan Sumber Daya Alam PB HMI 

Oleh: Riyanda Barmawi, Wasekjen Pengembangan Sumber Daya Alam PB HMI,
Peneliti ReIde Indonesia

Perkembangan ekonomi global selama satu dekade terakhir terus mengalami tekanan dan ancaman resesi.

Kegalauan para ekonom dan pemangku kebijakan dalam mencermati tren pelambatan pertumbuhan, serta fenomena ketidakpastian kondisi ekonomi yang dipicu oleh perang dagang antara Amerika-China yang tak jelas ke mana ujungnya, pecahnya demonstrasi di pelbagai negara, merupakan tantangan yang mesti segera diatasi.

Ekonom kawakan Nouriel Roubini memberikan pandangan yang cukup mencengangkan bahwa tahun 2020 potensial bagi resesi. Bahkan International Monetary Fund (IMF) memberi warning bagi pemerintah Indonesia akan risiko.

Seperti mengafirmasi ketakutan akan ancaman, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pelbagai kesempatan secara tegas memperlihatkan kepanikan ancaman resesi yang dipicu oleh faktor eksternal yang penuh dengan ketidakpastian.

Sebagai negara yang terjalin ke dalam sistem kapitalisme global sejak era Orde Baru, kecemasan terhadap faktor eksternal nampak masuk akal. Karena kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang secara adil mendistribusikan resesi ke berbagai negara yang menganut sistem tersebut.

Sama halnya dengan rejim terdahulu yang percaya pada dogma pertumbuhan ekonomi dapat menghadirkan keadilan dan kesejahteraan dengan syarat, investasi diletakkan jadi panglima.

Baca: Menhan Prabowo Soal Pemulangan 600 WNI Mantan ISIS: Agar Lebih Cepat Kembali ke Masyarakat

Berita Rekomendasi

Tentu rencana kebijakan presiden Jokowi dapat dimengerti.Apalagi pada periode I (2014-2019), pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5%. Bahkan paket kebijakan deregulasi yang dibuat sepanjang 2015-2019 nyaris kurang efektif dalam mendorong kegiatan usaha dan investasi, yang salah satunya dipicu oleh persoalan regulasi yang tumpang tindih.

Tidak heran bila dalam pidato pelantikannya sebagai presiden periode 2019-2024 hendak mewacanakan Omnibus Law.

Obesitas Regulasi?

Omnibus Law bukan hasil kontemplasi “liar” presiden Jokowi. Melainkan hasil evaluasi menyeluruh sepanjang periode pertama menjadi presiden yang salah satu alasannya adalah merampingkan, memangkas, serta menghapus regulasi setingkat Undang Undang yang tumpang tindih dan menghambat kemudahan investasi.

Baca: Virus Corona Meluas, ZTE Batal Tampil di Gelaran MWC 2020

Dengan skema Omnibus Law diyakini akan memudahkan pemerintah dalam mengambil keputusan. Sebagaimana ditandaskan presiden Jokowi kala berpidatopada HUT partai Nasdem ke-8. Presiden Jokowi secara tegas menyatakan bahwa dengan adanya Omnibus Law akan memudahkan pemerintah mengambil keputusan.

Obesitas regulasi seakan membuat pemerintah gagap mengambil keputusan-keputusan strategis, meskipun obesitas regulasi merupakan konsekuensi logis dari rejim otonomi daerah (Otoda) yang berlaku pascareformasi 1998. 

Karena itu, secara esensial payung hukum sapu jagat membawa harapan bagi prekonomian nasional.

Kendati demikian, ambisi presiden Jokowi membuat Omnibus Lawjangan sampai bertolak belakang dengan konsep Otoda yang semangatnya adalah mendistribusikan kewenangan kepada daerah agar tak tersentral di pusat.

Terlepas dari niat baik pemerintah, kehadiran Omnibus Law bukan tanpa problem. Minimnya partisipasi publik, bahkan terkesan “dirahasiakan”, sehingga memantik kecurigaan beberapa kalanganmengenai siasat pemerintah-pemodal dalam mempecundangi semua pelaksana yang bakal terkena imbas. Kecurigaan tersebut tak sepenuhnya keliru.

Pasalnya, sampai saat ini draf Omnibus Law yang beredar masih beragam versi.Sehingga Omnibus Law masih ditafsirkan beragam. Alhasil, upaya memberi respon kritis pun cenderung kurang maksimal.

Lemahnya Kuasa Negara Atas SDA (?)

Persoalan krusial yang harus menjadi perhatian betul pemerintah adalah Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law di sektor Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan lingkungan hidup. Perubahan skema Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menjadi Perjanjian Berusaha Pertambangan Khusus (PBKP) secara taklangsung akan berpengaruh signifikan atas perubahan penguasaan negara atas sumber daya alam serta semakin rentannya masyarakat adat serta brutalitas eksploitasi lingkungan hidup.

Hadirnya RUU Omnibus Law dapat membawa perubahan yang cukup signifikan.Salah satuya terkait penguasaan negara terhadap SDA, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33.

Beralihnya rejim kontrak karya (KK) menjadi rejim izin usaha pertambangan khusus (IUPK) nampaknya tak berlangsung lama. Dalam RUU Omnibus Law, telah diwacanakan skema baru, yakni perjanjian berusaha pertambangan khusus (PBKP). Pada titik inilah persoalan krusialnya.

Jika dalam skema IUPK hasil ekstensi diwajibkan menjadi wilayah pencadangan negara (WPN), serta izin harus melintasi proses lelang via BUMN sebelum diperebutkan swasta. Maka, pada rejim PBKP justru ekstensi tak memerlukan lelang atau ditawarkan ke BUMN.

Kelonggaran penguasaan pemodal atas SDA tak selesai di situ. Pembatasan luas area operasi produksi (25 hektare) yang diatur oleh IUPK, tetapi dalam PBKP sama sekali tak dibatasi.

Keanehan itu sudah pasti menyulut kecurigaan.Jangan sampai RUU Omnibus Law menyediakan kerangka intitusional bagi kelas pemodal (khususnya sektor ekstraktif) untuk melanggengkan kepentingan ekonomi politik oligarkis.

Jika demikian, tentunya payung hukum sapu jagat ini sama sekali tak menjawab tuntutan keadilan, tetapi sebaliknya melukai keadilan.

Karenanya, tantangan bagi pemangku kebijakan adalah mengartikulasi kepentingan dari pelbagai kelompok, tanpa harus menegasi kepentingan kelompok rentan.

Menilik wacana yang merekah kuat di lapisan civil society, sejauh ini RUU Omnibus Law merupakan siasat “busuk” pemerintah-pemodal untuk mempecundangi kepentingan kelompok rentan.

Ini nampak terefleksi pada (rencana) pengaturan upah kerja per jam, upah minimum, pesangon, dan keringanan Tenaga Kerja Asing (TKA). Bila kepentingan pekerja dikesampingkan, pasti akan berpotensi melahirkan persoalan baru.

Amanah Konstitusi pengusaan negara terhadap SDA, serta melindungi tumpah darah bangsa Indonesia, harus diperhatikan oleh pemerintah. Jangan sampai ambisi akan investasi, malah menabrak Konstitusi. Tujuan mulia Omnibus Law jangan menjadi legitimasi inkonsistensi rejim untuk menjalankan mandat Konstitusi yang dapat berimplikasi pada lemahnya posisi tawar (bargaining power) negara di hadapan pasar (market).

RUU Omnibus Law juga berpotensi memperparah disparitas hukum.Hal itulah yang lantang disuarakan pegiat masyarakat sipil.

Sudah sepantasnya bagi pemerintah agar jeli mendiagnosis permasalahan supaya tak terjadi kesalahan fatal yang membuat untung kelas penguasa.

Over-privalage yang diterima pemilik pemodal, seperti kelonggaran syarat lingkungan hidup, mempermudah izin usaha, dan penghapusan sanksi pidana bagi korporasi pelanggar hak.Mesti diimbangi dengan pemberian privalage bagi kelas subordinat.

Merujuk catatan kementerian ESDM, terdapat ribuan izin tambang ilegal tersebar di beberapa daerah.

Di Jawa Barat terdapat 282 izin tambang ilegal, di Jawa Timur terdapat 230 izin ilegal. Sementara, di Kalimantan Tengah sekitar 167 izin, di Kalimantan Timur terdapat 224 izin, di Kalimantan Selatan terdapat 343 izin, di Bangka Belitung 211 izin.

Begitu pula di Sumatera Barat 123 izin, Sulawesi Tengah 105 izin, Sulawesi Tenggara 84 izin, dan Sulawesi Selatan terdapat 203 izin.

Bila problem tambang ilegal dipahami dalam wacana yang berkembang pada Omnibus Law, tentu pemodal akan sangat diuntungkan.

Pasalnya, dalam kebijakatan tersebut, pengusaha diberi privalage, salah satunya menghapus pidana bagi korporasi pelanggar Hak.

Dari aspek ini terlihat jelas siapa yang untung dan siapa yang dirugikan!Tetapi, ini bukan tentang untung-rugi, melainkan soal keadilan.Karenanya artikulasi kepentingan dari pelbagai pihak penting diperhatikan.

Adanya klausul yang menyatakan bahwa sanksi pidana terhadap korporasi nakal akan dihapus, justru akan membawa efek buruk yang sangat serius bagi pekerja dan lingkungan.

Dengan kata lain, meniadakan sanksi pidana, sama halnya negara membiarkan dirinya dipecundangi kelas pemodal. Apalagi dewasa ini banyak negara telah merubah paradigma pembangunan yang eksploitatif menuju pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.

Penting bagi pemerintah untuk memikirkan hal serupa. Sebagaimana ditandaskan Joseph Stiglitz, Jean-Paul Fitoussi, dan Amartya Sen bahwa pembangunan bukan hanya untuk generasi sekarang, melainkan untuk generasi selanjutnya.

Organisasi JATAM bahkan menyatakan bahwa RUU Omnibus Law dalam bidang hutan dan lingkungan dapat memicu perusakan lingkungan hidup dan alienasi masyarakat adat, merupakan tamparan bagi pemerintah yang semasa puluhan tahun cenderung terjebak dengan model pembangunan yang berbasis eksploitasi SDA.

Bila rezim Jokowi-Maruf benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, tantangan dari RUU Omnibus Law meningkatkan usaha pelestarian SDA dan lingkungan hidup, tak hanya investasi.

Omnibus Law Sebagai Kebutuhan

Investasi merupakan hajat Indonesia dalam jangka waktu tertentu.Minimnya lapangan pekerjaan di tengah tantangan bonus demografi bila tak diatasi, berpotensi jadi masalah bagi pemerintah.

Karenanya, investasi yang memungkinkan terbukanya lapangan pekerjaan dalam rentang waktu tertentu merupakan solusi yang tepat.

Maka itu penting bagi pemerintah menata kebijakan yang bisa menjawab tantangan ke depan. Pada perspektif inilah Omnibus Law menemukan relevansinya.

Memang tak banyak negara mengadopsi Omnibus Law. Yang memakainya pun kebanyakan negara-negara anglo saxon, sementara negara yang menganut civil law sistem hanya beberapa, seperti Jerman dan Vietnam.

Dengan kata lain perdebatan mengenai apakah Omnibus Law lebih cocok dipakai oleh negara-negara anglo saxon atau civil law, menjadi kurang relevan untuk diperdebatkan.

Sebab, Omnibus Law sendiri merupakan kebutuhan untuk mengatasi persoalan dan tantangan yang ada.

Pemerintah Indonesia sendiri sebelumnya belum pernah mengadopsi kebijakan tersebut. Tak heran bila ada yang salah persepsi dan memicu lahirnya protes massa menolak kebijakan tersebut.

Untuk itu, perlu adanya dialog yang melibatkan seluruh elemen terkait untuk membahasnya agar tak terjadi kesalahpahaman.

Dialog, menurut Jurgen Habermas, merupakan usaha untuk saling memahami. Tanpa dialog, setiap orang tak akan bisah saling memahami, dan karenanya, akan menimbulkan kecurigaan-kecurigaan liar yang tak jelas.

Rencana pemerintah membuat Omnibus Law betapapun harus didukung.Kita tidak bisa memungkiri fakta terjadinya obesitas regulasi yang saling tumpang tindih dan ketidakpastian hukum. Adanya Omnibus Law, sekurang-kurangnya menjawab persoalan tersebut.

Dengan Omnibus Law, investor mendapatkan kepastian dan kemudahan, karenanya memungkinkan mereka untuk berinvestasi, sehingga persoalan minimnya lapangan pekerjaan dapat teratasi.

Meski masih terdapat celah kritik atas Omnibus Law, sebagaimana dibahas sebelumnya. Penting kiranya pemerintah membuka ruang dialog agar meluruskan kesalahpahaman serta mengartikulasi kepentingan yang beragam agar tidak ada yang merasa kepentingannya dimarginalkan.

Jangan sampai Omnibus Law menjadi retorika kosong pemerintah. Mengutip pernyataan jurnalis senior Budiman Tanuredjo, seperti mengulang retorika “revolusi mental” yang pernah dimunculkan presiden Jokowi menjelang kampanye pemilihan Pilpres 2014. (*)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas