Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ambyaaarrr
Dalam setiap pentas, Didi Kempot selalu dengan suara lantang mengatakan, “Wong Jawa aja lali jawane.”
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Trias Kuncahyono
TRIBUNNEWS.COM - Ketika berita tentang kematian Didi Kempot (53) Selasa (5/5/2020) pagi beredar begitu cepat lewat media sosial dan televisi serta radio, banyak orang merasa kehilangan.
Di tengah rasa kehilangan itu orang segera bersepakat: Didi Kempot, bukan hanya salah satu penyanyi tetapi entertainer terbaik di negeri ini.
Sulit untuk dibantah bahwa Didi Kempot adalah tokoh, seniman yang menghidupkan, memberi semangat banyak orang—tak peduli tua-muda, anak-anak maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan, pekerja maupun pengangguran, sipil maupun militer dan polisi, pejabat tinggi maupun pegawai rendahan, pendek kata siapa saja—di tengah gempuran pandemi Covid-19, juga gempuran budaya asing yang tidak kalah dahsyat.
Pandemi yang membuat kehidupan dan dunia ini ambyar, hancur berantakan, bercerai berai.
Karena itu, sangat tepat yang dikatakan Romo Sindhunata, “Penyanyi campur sari bisa dadi fenomena tentang ambyare jaman. Virus corona niki jane rak nggih lakon ambyare ambyar. Sak agama agamane ambyar. Uripe Didi Kempot pungkasane nggih mung ambyar. Mulih dadi awu. Didi Kempot kados mboten mung ngramal jaman. Ning ngramal ambyare uripe dewe”;
Penyanyi campur sari bisa menjadi fenomena hancur berantakannya zaman. Virus corona ini juga lakon tentang hancurnya zaman.
Termasuk agama juga ambyar. Akhir hidup Didi Kempot pun ambyar. Kembali menjadi debu.
-
Baca: Didi Kempot Tak Ingin Diliput Media saat Penyaluran Bantuan Hasil Donasi Konser Amal dari Rumah
Didi Kempot rasanya tidak hanya meramal zaman. Tetapi meramal hidupnya sendiri.
Dalam setiap pentas, Didi Kempot selalu dengan suara lantang mengatakan, “Wong Jawa aja lali jawane.”
Apa yang diteriakkan Didi Kempot adalah sebuah tidak hanya ajakan tetapi peringatan keras agar kita—apakah itu Jawa, Sunda, Batak, Manado, Bugis, Dayak, Bali, Papua, Ambon, Sasak, Aceh, dan semua suku di negeri ini—tidak melupakan bahkan meninggalkan budaya asli, budaya sendiri.
Kalau bangsa ini, telah melupakan budaya adiluhung yang lahir dan hidup di negeri ini, dan memeluk, memuja-muja budaya lain, maka negeri ini akan ambyar.
Kiranya Didi Kempot melihat tanda-tanda ambyar-nya bangsa ini yang pelan-pelan tetapi pasti karena banyak yang sudah mulai meninggalkan budaya sendiri.
Lagu Ambyar, tidak hanya cerita tentang sakit hatinya Didi Kempot yang diingkari janji oleh kekasih hatinya. Tetapi, ambyar-nya hati Didi Kempot melihat perkembangan zaman.