Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Gus Nadir, Tokoh Milenial Islam dan Kemanusiaan
Sebagai intelektual profesional, Gus Nadir mengelola satu website pribadi yang mempromosikan “Islam Kemanusiaan”.
Editor: Husein Sanusi
Tentu tidak dalam rangka mengecilkan intelektual muslim lain yang berkarir di Barat, tetapi Gus Nadir adalah representasi yang patut diacungi jempol.
Tentang Islam Kemanusiaan yang diperjuangkan Gus Nadir, salah satunya, dapat dibaca melalui artikelnya yang berjudul “Islam Agama Kemanusiaan (2018)” dan “Kemanusiaan Mendahului Sikap Religius (2019)” dalam https://nadirhosen.net.
Secara garis besar ada kesinambungan gagasan dengan karya-karya beliau sebelumnya, di antaranya “Islam in Southeast Asia,” 4 volumes, (Routledge, London, 2010) maupun “Law and Religion in Public Life: The Contemporary Debate, (Routledge, London, 2011 dan 2013).
Yang paling mengesankan dari pikiran Gus Nadir adalah perlawanannya terhadap gerakan Hizbut Tahrir Indonesia, sebagai salah satu ormas agama yang menetang NKRI dan Pancasila. Bukunya yang luar biasa berjudul “Islam Yes, Khilafah No!” (Yogyakarta: Suka Press, 2018).
Sebelum buku ini terbit, sudah jauh hari Gus Nadir menguliti penyelewengan-penyelewengan makna sejarah khilafah, seperti yang bisa diikuti dari artikel “Tiga Khilaf dalam Memahami Khilafah,” (nadirhosen.net, 21 Mei 2017).
Gus Nadir pantas disebut sebagai “Pahlawan Islam Kemanusiaan” dengan mengkritik Hizbut Tahrir. Sebab, pada saat bersamaan, Hizbut Tahrir Internasional memang menentang Human Rights dengan menuduhnya sebagai praktik sekularisasi (www.hizb-ut-tahrir.info, 25 Februari 2019). Padahal, sejak era Imam Asy-Syathibi, Maqashid Syariah sudah menjadi embrio perumusan ilmiah persenyawaan Islam dan Kemanusiaan. Asy-Syathibi sendiri intelektual muslim Granada, Spanyol, dari abad 8 Hijriyah (1388 M).
Tidak mungkin melepaskan nilai-nilai kemanusiaan dari Islam, sebagaimana kita juga tidak mungkin menerima Hizbut Tahrir di bumi Nusantara.
Gus Nadir menjadi pembuka gerbang diskusi ilmiah menuju pelurusan makna keberislaman yang diselewengkan tersebut. Dari Gus Nadir kita juga bisa belajar makna Islam Kemanusiaan secara lebih komprehensif.
Namun, kita tidak cukup memahami Gus Nadir sebagai pakar sejarah. Beliau dapat juga disebut sebagai alim ulama di bidang al-Quran.
Salah satu karya yang bisa dibaca dengan teliti adalah bukunya yang berjudul “Tafsir Al-Quran di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci pada Era Media Sosial” (Yogyakarta: Bentang Bunyan, 2017).
Buku ini mencerminkan kejelian intelektualitas beliau dalam melihat perkembangan wacana tafsir dengan pendekatan sosiologi atas perilaku muslim milenial.
Sudah menjadi rahasia umum, cara “kelompok sebelah” mempropagandakan ide mereka adalah melalui penguasaan atas media. Dr. Badarussyamsi, MA. (2015) mengutip pandangan Esposito bahwa sebagian ekstrimis dan teroris telah memonopoli pembicaraan dalam media.
Mereka mengaku mewakili miliaran umat Islam (Badrussyamsi, Fundamentalisme Islam: Kritik Atas Barat, Yogyakarta: LKiS, 2015).
Gus Nadir mempreteli bagaimana tafsir al-Quran berkembang di media sosial, yang diam-diam mengarahkan umat muslim ke pemikiran radikal-ekstrimis.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.