Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

Gus Nadir, Tokoh Milenial Islam dan Kemanusiaan

Sebagai intelektual profesional, Gus Nadir mengelola satu website pribadi yang mempromosikan “Islam Kemanusiaan”.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Gus Nadir, Tokoh Milenial Islam dan Kemanusiaan
FACEBOOK.COM
Nadirsyah Hosen akrab disapa Gus Nadir 

Gus Nadir, Tokoh Milenial Islam dan Kemanusiaan

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

TRIBUNNEWS.COM - Nama lengkapnya Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A. (Hons), Ph.D. Pria kelahiran 8 Desember 1973 ini telah menaklukkan dunia Barat, dengan menjadi dosen tetap di Monash University Faculty of Law sejak 2015.

Peran pentingnya di organisasi Nahdlatul Ulama telah dimulai sejak 2005 dengan menjabat sebagai Ra'is Syuriah, pengurus cabang istimewa NU di Australia dan Selandia Baru.

Pria gagah karena rambut gondrongnya ini menempuh pendidikan sarjana S1 di UIN Syarif Hidayatullah, gelar master ia dapatkan dari dua kampus berbeda; University of New England dan Northern Territory University.

Begitupun gelar doktor dia sabet dari dua kampus yang juga berbeda; University of Wollongong dan National University of Singapore.

Kepakaran Gus Nadir dalam bidang hukum Islam ini mewarisi ayahandanya, KH. Ibrahim Hosen. Pepatah bilang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

BERITA TERKAIT

Gus Nadir, begitu panggilan akrabnya, adalah putra yang lahir dari keluarga alim ulama, Prof. KH. Ibrahim Hosen, ulama fikih Indonesia sekaligus legenda Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kakek Gus Nadir adalah KH. Hosen, seorang ulama-saudagar berdarah Bugis dan pendiri Mu’awanatul Khair Arabische School di Tanjung Karang, Lampung.

Sedangkan nenek Gus Nadir, Siti Zawiyah, adalah keturunan ningrat Kerajaan Selebar Bengkulu.

Sebagai intelektual profesional, Gus Nadir mengelola satu website pribadi yang mempromosikan “Islam Kemanusiaan”.

Bahkan, pada tahun 2010, beliau sudah menerbitkan buku berjudul "Human Rights, Politics and Corruption in Indonesia: A Critical Reflection on the Post Soeharto Era", (Republic of Letters Publishing, Dordrecht, The Netherlands, 2010).

Karya-karya lain Gus Nadir yang juga fenomenal berjudul "Shari'a and Constitutional Reform in Indonesia" (Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2007) dan “Modern Perspectives on Islamic Law" (Edward Elgar, UK, 2013 dan 2015).

Tidak berlebihan bila menyebut beliau sebagai intelektual muslim tradisional yang telah menaklukkan Barat.

Tentu tidak dalam rangka mengecilkan intelektual muslim lain yang berkarir di Barat, tetapi Gus Nadir adalah representasi yang patut diacungi jempol.

Tentang Islam Kemanusiaan yang diperjuangkan Gus Nadir, salah satunya, dapat dibaca melalui artikelnya yang berjudul “Islam Agama Kemanusiaan (2018)” dan “Kemanusiaan Mendahului Sikap Religius (2019)” dalam https://nadirhosen.net.

Secara garis besar ada kesinambungan gagasan dengan karya-karya beliau sebelumnya, di antaranya “Islam in Southeast Asia,” 4 volumes, (Routledge, London, 2010) maupun “Law and Religion in Public Life: The Contemporary Debate, (Routledge, London, 2011 dan 2013).

Yang paling mengesankan dari pikiran Gus Nadir adalah perlawanannya terhadap gerakan Hizbut Tahrir Indonesia, sebagai salah satu ormas agama yang menetang NKRI dan Pancasila. Bukunya yang luar biasa berjudul “Islam Yes, Khilafah No!” (Yogyakarta: Suka Press, 2018).

Sebelum buku ini terbit, sudah jauh hari Gus Nadir menguliti penyelewengan-penyelewengan makna sejarah khilafah, seperti yang bisa diikuti dari artikel “Tiga Khilaf dalam Memahami Khilafah,” (nadirhosen.net, 21 Mei 2017).

Gus Nadir pantas disebut sebagai “Pahlawan Islam Kemanusiaan” dengan mengkritik Hizbut Tahrir. Sebab, pada saat bersamaan, Hizbut Tahrir Internasional memang menentang Human Rights dengan menuduhnya sebagai praktik sekularisasi (www.hizb-ut-tahrir.info, 25 Februari 2019). Padahal, sejak era Imam Asy-Syathibi, Maqashid Syariah sudah menjadi embrio perumusan ilmiah persenyawaan Islam dan Kemanusiaan. Asy-Syathibi sendiri intelektual muslim Granada, Spanyol, dari abad 8 Hijriyah (1388 M).

Tidak mungkin melepaskan nilai-nilai kemanusiaan dari Islam, sebagaimana kita juga tidak mungkin menerima Hizbut Tahrir di bumi Nusantara.

Gus Nadir menjadi pembuka gerbang diskusi ilmiah menuju pelurusan makna keberislaman yang diselewengkan tersebut. Dari Gus Nadir kita juga bisa belajar makna Islam Kemanusiaan secara lebih komprehensif.

Namun, kita tidak cukup memahami Gus Nadir sebagai pakar sejarah. Beliau dapat juga disebut sebagai alim ulama di bidang al-Quran.

Salah satu karya yang bisa dibaca dengan teliti adalah bukunya yang berjudul “Tafsir Al-Quran di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci pada Era Media Sosial” (Yogyakarta: Bentang Bunyan, 2017).

Buku ini mencerminkan kejelian intelektualitas beliau dalam melihat perkembangan wacana tafsir dengan pendekatan sosiologi atas perilaku muslim milenial.

Sudah menjadi rahasia umum, cara “kelompok sebelah” mempropagandakan ide mereka adalah melalui penguasaan atas media. Dr. Badarussyamsi, MA. (2015) mengutip pandangan Esposito bahwa sebagian ekstrimis dan teroris telah memonopoli pembicaraan dalam media.

Mereka mengaku mewakili miliaran umat Islam (Badrussyamsi, Fundamentalisme Islam: Kritik Atas Barat, Yogyakarta: LKiS, 2015).

Gus Nadir mempreteli bagaimana tafsir al-Quran berkembang di media sosial, yang diam-diam mengarahkan umat muslim ke pemikiran radikal-ekstrimis.

Penulis mengikuti perkembangan pemikiran Gus Nadir, salah satunya, di twitter. “Pencerahan-pencerahan” publik yang dilakukannya mencerminkan kebutuhan praktis generasi android di era milenial ini.

Sebagai representasi dai muda dari kalangan NU, Gus Nadir dapat dijadikan percontohan sebagai teladan ideal. Kedalaman dan keluasan penguasaannya atas ilmu pengetahuan disertai dengan keintiman beliau dengan dunia digital.

Menjadi ahli fikih, ahli hadits, ahli tafsir, dan pakar sejarah memang penting. Tetapi, media dakwah yang tidak tepat dan kurang kontekstual akan berbahaya, salah satunya melahirkan pengabaian pada audiens yang sudah tidak lagi “tradisional”.

Maksudnya, umat muslim milenial belakangan ini adalah “generasi android,” “kaum smartphone,” “masyarakat digital,” atau ungkapan sejenis.

Gus Nadir pernah mengutarakan hukum berdakwah lewat media sosial sebagai fardu kifayah.

Ia berkata, "Saya melihat aktivitas media sosial itu sudah fardu kifayah—wajib dan baru gugur bila sudah dikerjakan muslim lainnya. Artinya kalau ada yang tidak melakukan, kita berdosa."

NU sebagai ormas tradisional perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan media dakwah mutakhir ini. Gus Nadir telah mencontohkannya. Jika tidak, wallahu a’lam apa yang akan terjadi di masa depan.[]

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas