Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Gus Mis, Intelektual Muda NU Garda Depan Pembela Minoritas
Gus Mis adalah seorang penulis produktif kelahiran Sumenep, Madura, 1977, juga figur Azhariyyin yang kontroversial dan unik.
Editor: Husein Sanusi
Gus Mis, Intelektual Muda NU Garda Depan Pembela Minoritas
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Zuhairi Misrawi, Lc atau Gus Mis bukan saja intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), melainkan juga representasi kaum muda pembela kelompok minoritas di Indonesia.
Ia adalah seorang penulis produktif kelahiran Sumenep, Madura, 1977, juga figur Azhariyyin yang kontroversial dan unik.
Kiprahnya tidak saja di Lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU, tapi juga sebagai direktur Moderat Muslim Society dan ketua PP Baitul Muslimin PDIP
Gagasan besar Gus Mis yang patut diapresiasi adalah "Islam Ramah". Tanpa ada dukungan dari ormas besar mana pun, ia mengelola website www.islamramah.co, yang belakangan merambah beberapa media sosial lain seperti youtube Islam Ramah TV.
Gerakan digital ini semuanya berlandaskan pada spirit Islam yang ramah, toleran dan moderat.
Di Indonesia, kelompok Syi'ah selalu jadi bulan-bulanan muslim radikal. Opini paling ekstrim menyebut Syiah sebagai aliran sesat/non muslim.
Dalam konteks politik intelektualisme semacam ini, Gus Mis tampil di garda terdepan, melakukan advokasi pemikiran dalam kerangka kerja Islam Ramah.
Tidak jarang jika dalam banyak ceramah ilmiahnya, Gus Mis mencari titik temu antara Nahdlatul Ulama dan Syi'ah.
Bukan untuk menyepadankan NU dan Syiah, tetapi sebagai intellectual-war (perang pemikiran) agar wacana keberagamaan di Indonesia menampilkan wajah Islam Ramah.
Tahun 2016, Gus Mis pergi ke Mesir untuk berjumpa dengan Imam Besar Al-Azhar, Grand Syeikh Ahmad Thayyib, untuk menyerahkan buku karyanya tentang Al-Azhar.
Dari perjumpaan pribadi itu, Gus Mis kemudian mengutip kata-kata Grand Syeikh, "umat muslim harus bersaudara.
Menjadi Sunni dan Syiah bukan sebuah kesalahan."Gus Mis berteman dengan penulis sudah sejak lama.
Ketika ia memangku amanah sebagai reporter di Nuansa: Jurnal Kajian Keislaman, yang diterbitkan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Mesir, dan beralamat di 47/02 Mohamed Mandor St. Nasr City, Cairo, Egypt. Penulis sendiri sebagai redaktur pelaksana.
Sebaliknya, di buletin Terobosan, Mesir, ia sebagai redaktur pelaksana dan penulis sebagai reporter. Kami terpisah ketika di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Cairo; dia Pemred Jurnal OASE, sedangkan penulis Ketua Sanggar Terjemah dan Pustaka (SAMAHTA).
Produktivitas berkarya dan kegigihan berpikir semakin terasa ketika Gus Mis menerima amanah sebagai sekretaris Lembaga Studi Filsafat Islam (LSFI), Kairo, dan penulis sebagai ketua. Semangatnya untuk bangkit membela kelompok minoritas dan kaum lemah (mustadh’afin), begitu membara.
Saat ini Kepakaran Gus Mis diakui oleh media nasional seperti Kompas TV dan Metro TV , Wajahnya selalu muncul di Kompas TV dan Metro TV dalam banyak acara mewakili "intelektual muda NU" atau sebagai pengamat geopolitik Timur Tengah.
Analisa Gus Mis tentang peta politik Timur Tengah, misal terorisme, Islamic State, sangat mendalam. Bahkan, pendekatan disiplin ilmu hubungan internasionalnya sangat kritis.
Salah satunya yang mengkomparasikan agresifitas Malaysia dan Indonesia dalam menjalin kerjasama dengan Arab Saudi. Negara kecil Malaysia mampu mengalahkan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia.
Tentu saja seperti pepatah lama, “semakin tinggi pohon dipanjat, semakin kencang angin menerpa.” apalagi Tindak-tanduk Gus Mis cukup kontroversial. Salah satu kontroversi tentu muncul di kelompok yang kurang setuju dengan ide kritis Gus Mis, seperti terkait pembelaannya terhadap kelompok Ahmadiyah. Namun, harus disadari, setiap ada “penolakan” di sana selalu ada “penerimaan”.
Gus Mis bagi kalangan Ahmadiyah serupa Gus Mus di kalangan Nahdliyyin. Karenanya, bagi penulis, fenomena pro-kontra dalam hal apa saja merupakan perkara lazim di dunia pemikiran.
Penulis saksi hidup, Gus Mis ini pribadi yang suka tantangan sejak dari Mesir, dan mungkin itu karakter bawaannya sebagai ilmuan Madura. Secara garis intelektual, Gus Mis adalah "putra pesantren".
Ini penting sekali dicatat. Ia belajar ilmu-ilmu Islam di Pondok Pesantren Al-Amien, Sumenep, Madura.
Sejak dari pondok sudah jatuh cinta yang mendalam terhadap al-Quran, Tafsir, Fiqih, Sastra, dan terutama Filsafat Islam.
Produktivitas menulis juga disemai sejak di pondok. Tidak heran apabila kemudian hari menempuh pendidikan sarjana di Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo. Semua itu hanya fase pematangan intelektualnya sejak awal.
Sepulang dari Mesir, tiba di Jakarta, lalu melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tahun 2006.
Tema-tema pemikiran Gus Mis ini semakin beragam; radikalisme, puritanisme, demokrasi, dan pluralisme. Sebagai pemikir dan penulis, banyak karya brilian lahir dari tangan Gus Mis.
Beberapa karya Gus Mis antara lain: Islam Melawan Terorisme (2004), Doktrin Islam Progresif (2004), Menggugat Tradisi (2004), Khutbah-Khutbah Toleransi (2009), Makkah (2009), Madinah (2009), Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan (2010), Al-Quran Kitab Toleransi (2010), Pandangan Muslim Moderat (2010), Al-Azhar (2010), dan Pelangi Melbourne (2011).
Sekali pun mengatakan bahwa peran Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah begitu sentral dan penting bagi masa depan bangsa dan negara ini, tetapi ide cemerlang itu terkendala oleh kedekatannya dengan kelompok minoritas Ahmadiyah.
Dalam sebuah kesempatan, Gus Mis mengatakan, "saya sebenarnya 99% adalah Ahmadiyah, tinggal 1% lagi," (https://warta-ahmadiyah.org).
Gus Mis memang berani dan cenderung nekat. Penulis menjadi teringat sepak terjang intelektual almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga kontroversial karena kedekatannya dengan Israel dan Tionghoa.
Saking dekatnya dengan Israel, Para Rabi menangis mendengar pidato-pidato Gus Dur. Sehingga banyak orang menyebut beliau sebagai "Sobat Israel dari Dunia Islam".
Sedangkan di mata etnis Tionghoa, Gus Dur disebut “Bapak Tionghoa”. Di sini, Gus Mis pantas disebut “Bapak Ahmadiyah”.
Secara objektif, Yahudi dan Ahmadiyah berposisi sama di mata Islam, yakni sama-sama tidak mengakui Nabi Muhammad saw sebagai Khatimul Anbiya’ (Penutup Para Nabi).
Dengan kata lain, kedekatan Gus Mis pada Ahmadiyah serupa kedekatan Gus Dur pada Yahudi dan Israel.
Apalagi Ahmadiyah di Indonesia bukan gerakan politik seperti Yahudi, yang menjadi kaum kolonial di tanah Palestina. Artinya, posisi kontrovesi intelektual Gus Mis di bawah kualitas Gus Dur.
Tidak cukup sampai di situ. Gus Mis layak ditempatkan sebagai Azhariyyin Indonesia pembela Ahmadiyah.
Sebagai seorang alumni, hal ini menjadi signal adanya sebuah perjuangan yang kontradiktif dengan kurikulum dan Faham Al-Azhar itu sendiri.
Keunikan dan spesifikasi pilihan perjuangan Gus Mis menjadi alasan paling rasional penolakan atas dirinya di kalangan sebagian Azhariyyin sendiri. Di mata penulis, Gus Mis selangkah lebih ekstrim dari pada Gus Mus.
Gus Mus mengatakan, "Saya tidak membela, tapi orang NU itu memang harus bersikap tawassuth (tidak memihak), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang),".
Tema-tema semacam toleransi dan moderat ini diterjemahkan oleh Gus Mis ke dalam gerakannya dalam mengadvokasi Ahmadiyah.
Gus Mus tidak membela Ahmadiyah tapi menolak segala bentuk penyelesaian dengan kekerasan, sedangkan Gus Mis tegas menyatakan pembelaannya.
Dua Gus dari NU ini bagai dua kutub yang saling melengkapi kebutuhan umat manusia.
Akhir kata, kiprah intelektual Gus Zuhairi Misrawi mendorong penulis menyebutnya sebagai “Garda Depan Pembela Kaum Minoritas”.
Pro-kontra atas tindak tanduknya yang parsial itu tidak lantas menggugurkan visi-misi besarnya, Islam Ramah.
Semua wacana pembelaan atas Syiah, Ahmadiyah, kritik atas ISIS dan terorisme di Timur Tengah, semua itu manifestasi dari gagasan Islam Berwajah Ramah. Wallahu a’lam bis shawab.[]
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.