Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Subsidi Energi Listrik dan Elpiji Secara Langsung akan Lebih Tepat Sasaran
Terus meningkatnya subsidi energi seharusnya memunculkan desakan untuk segera dilakukan transformasi pengelolaan subsidi energi.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Penyalurannya sederhana namun pelaksanaannya tidak gampang
Pemerintah berencana mengubah skema mekanisme subsidi elpiji, dari yang awalnya melekat pada harga jual barang menjadi langsung ke masyarakat yang berhak.
Harapannya, penyaluran subsidi lebih tepat sasaran. Bila untuk elpiji diberikan subsidi langsung, maka ada baiknya hal ini juga dilakukan untuk subsidi listrik, mengingat komoditinya mirip. Sama-sama energi rumah tangga miskin.
Pelanggan listrik rumah tangga kecil sudah memiliki hitoris data yang mempermudah penghitungan besaran subsidi dan data awal calon penerima.
Namun demikian beberapa persoalan rumit tetap ada, yaitu bagaimana menentukan siapa atau keluarga mana, dan berapa jumlah yang berhak menerima.
Berapa dan bagaimana besaran subsidi per keluarga, apakah tetap atau ada variasi naik/turun. Bagaimana sistem penyalurannya dan sosialisasinya.
Bagaimana pengamanannya dari praktik kecurangan yang potensial terjadi.
Tak mudah memang, untuk membuat keputusan. Tapi, walau banyak tantangan, skema subsidi langsung ke masyarakat ini seyogyanya tidak boleh diulur lagi.
Subsidi langsung, selain akan lebih tepat sasaran, warga penerima subsidi bisa menerima dana tunai, sehingga dapat mengatur pengeluaran secara bijak.
Tentu dengan asumsi bahwa harga energi berada pada batas keekonomiannya. Dana subsidi yang turun ke masyarakat dapat sejenak membantu perputaran ekonomi di kalangan bawah piramida ekonomi.
Bila harga energi berlaku pada harga keekonomiannya, maka terbuka kemungkinan adanya pasokan langsung dari sumber energi setempat. Ini sesuatu yang bakal menjadi trend kedepan.
Terjadi situasi yang adil. Mereka yang dapat berhemat akan mendapat sedikit sisa uang subsidi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain. Dengan asumsi, penerima subsidi mendapatkan besaran dana yang sama.
Dengan subsidi langsung ke penerima yang berhak, maka ada harapan jumlah subsidi dapat berkurang, seiring berjalannya waktu dan sejalan dengan tumbuhnya perekonomian.
Jumlah penerima subsidi
Rencana skema penyaluran subsidi elpiji secara langsung telah disampaikan Kementrian ESDM. Namun sejauh ini belum dapat dipastikan jumlah penerima subsidi. Kisarannya ada di angka 15 juta sampai 25 juta jiwa.
Banyak sumber yang bekerja terkait penghitungan angka calon penerima subsidi.
Ada angka jumlah penduduk miskin dari BPS, ada sensus BPS, ada sensus ekonomi BPS 2016, angka dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang menjadi acuan, dan data Kementrian Sosial.
Jika mengacu pada batas atas yaitu 25 juta jiwa -seperti yang disebutkan Ditjen Migas- maka akan ada penerima kira-kira 8,3 juta keluarga yang berhak.
Namun angka tersebut terlalu matematis yang terlalu tegas menarik garis batas. Manakala dikatakan rakyat miskin tak mampu berjumlah 25 juta jiwa, atau 8,3 juta keluarga miskin, maka tentu ada keluarga yang mendekati garis kemiskinan, dan ada keluarga yang perlu dibantu, demi keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan.
PLN sendiri dapat membantu pemerintah menyiapkan data calon penerima subsidi lenergi, dengan memanfaatkan data base pelanggannya. Tentu dibutuhkan pemutakhiran, verifikasi dan validasi lagi, agar didapatkan potret penerima yang lebih akurat.
Menghitung besar subsidi langsung bulanan dan tahunan
Pelanggan listrik PLN 450 VA mengunakan energi listrik rata rata 90 sampai 100 kWh per bulan. Dengan membayar tarif Rp. 415 per kWh, rekening listrik yang harus dibayar sekitar Rp. 41.500 per bulan.
Pelanggan 900 VA RTM menggunakan listrik rata rata 180 kWh per bulan. Dengan membayar tarif Rp. 605 per kWh, rata-rata tagihan yang dibayar sebesar Rp 108.900 per bulan.
Saat ini, bila dilakukan subsidi langsung ke pelanggan tak mampu, maka tarif yang diberlakukan dituntut adil bagi kedua belah pihak, yaitu PLN dan rakyat. Keduanya berhak mendapatkan hak dasarnya.
Bila demikian rujukannya, tarif yang adil adalah setinggi biaya pokok penyediaan sisi PLN (pada pertengahan 2020 ini nilainya Rp. 1.200 per kWh, dan harus dicatat bahwa angka ini bervariasi, tergantung dari harga energi primer, nilai tukar dolar, dan inflasi).
Maka bila tahun 2020 ini mulai dilakukan subsidi langsung, pelanggan PLN 450 VA diberlakukan tarif Rp. 1.200 per kWh. Pelanggan PLN 900 VA juga dibelakukan tarif Rp. 1.200 per kWh, atau paling tinggi Rp. 1.250 per kWh.
Uang subsidi yang akan dibayarkan Pemerintah langsung kepada pelanggan PLN bisa dipatok 100 kWh per bulan dikalikan selisih tarif Rp. 785 atau Rp 78.500 per bulan per pelanggan.
Uang subsidi untuk pelanggan 900 VA Tak Mampu juga Rp 78.500 per bulan, demi perlakuan adil.
Penyediaan subsidi oleh Pemerinah untuk listrik harus dianggarkan sebesar Rp 31.086 milyar atau Rp 31,09 triliun per tahun.
Dengan dana tersebut, semua keluarga tergolong miskin dan tak mampu, baik yang sudah berlngganan listrik maupun yang belum dapat pelayanan listrik mendapatkan subsidi langsung tunai untuk kegunaan listrik.
PLN tidak rugi, karena listriknya dibayar pas dan tepat waktu.
Memang kadang kala subsidi tak langsung yang dibayarkan kepada PLN turunnya belakangan. Angka penyediaan subsidi Rp. 31,9 triliun untuk listrik ini jauh lebih rendah dari angka subsidi yang dianggarkan dalam APBN 2020.
Hal ini karena penyediaan subsidi untuk rakyat tak mampu dibatasi sampai dengan tarif listrikyang tidak lebih tinggi dari biaya penyediannya.
Pada konsumsi elpiji, menurut catatan Kementrian ESDM, rumah tangga tak mampu mengkonsumsi elpiji rata rata 15 sampai 16 Kg per bulan, dengan harga dasar Rp. 5.000 per Kg.
Tahun 2019, dengan harga LPG Aramco 360 USD per ton dan kurs Rp 14.200 per USD.
Harga bulan Juli 2020 adalah Rp 273.165 per Ton.
Bila dipakai patokan harga rata rata 300 USD per ton dan kurs Rp. 14.500 per USD, maka harga loco Stasion Penerimaan Indonesia di Jawa dan Sumatera mencapai Rp. 5.180 per Kg.
Jika dimasukkan biaya distribusi dan lain lain, harga di distributor dapat mencapai Rp. 6.100 per Kg, dan harga di konsumen sekitar Rp. 7.200 per Kg atau Rp. 21.600 per tabung 3 Kg.
Dengan penetapan asumsi konsumsi 16 Kg epliji per keluarga per bulan, maka subsidi yang dibayarkan langsung ke penerima adalah Rp. 41.600 per bulan, yang dapat meningkat mengikuti kenaikan harga pasokan LPG.
Dalam setahun, pemerintah harus menyediakan anggaran subsidi langsung elpiji kepada 33 juta penerima sebesar Rp.16,48 triliun.
Angka ini jauh lebih kecil dari angka subsidi yang dianggarkan dalam APBN 2020 yang sebesar Rp 50,6 triliun.
Perlu pula dicatat untuk evaluasi bahwa harga LPG Impor standar Aramco pertengahan 2020 sangat rendah. Bahkan mencapai 55 % dari harga LPG Impor awal tahun 2018 yang sebesar 500 USD per ton.
Angka Rp. 16,48 triliun adalah angka subsidi yang tepat sasaran, yang merupakan tujuan mutlak kebijakan subsidi.
Sehubungan dengan itu, perlu disiapkan perangkat sosialisasi kepada semua pihak termasuk pihak pihak yang mungkin akan kehilangan sumber pendapatan dan keuntungan karena kebijakan subsidi sebelumnya yang tidak tepat sasaran.
Apapun pro-kontra yang nanti berkembang, kemanfaatan untuk rakyatlah yang harus diutamakan.