Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jejak Bencana dan Wabah Penyakit Masa Lampau Menurut Prasasti dan Sumber Sejarah Kuno
Candi Borobudur ketika terkuak dan dibersihkan, terlihat kerusakannya lebih banyak diakibatkan gempa bumi.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Bahkan hal itu menjadi bagian pokok dari alasan para pemegang prasasti untuk memohon kepada raja agar dilakukan penetapan kembali atas sīma yang mereka tempati.
Kapankah peristiwa itu terjadi memang tidak disebutkan dengan pasti. Tapi jelas peristiwa itu terjadi setelah penetapan sīma Warunggahan pertama kali oleh Śri Kṛtanagara (1190-1214 Śaka).
Sehingga ketika prasasti bukti penetapan itu hilang, para ahli waris meminta penetapan ulang yang kemudian muncul dalam wujud prasasti Warunggahan itu.
Apabila kemudian hasil kajian tentang nama “Waruṅgahan” dalam prasasti itu adalah nama kuna dari desa Prunggahan, Kecamatan Semanding, Tuban, bisa disetujui, maka akan bisa dilihat sejarah ke-gempa bumi-an di Tuban khususnya, dan Jatim pada umumnya.
Mengapa? Gempa bumi adalah fenomena alam yang berulang, sehingga dengan mengetahui sejarah atau jejak gempa bumi di suatu wilayah, kejadian itu dapat diantisipasi secara baik.
Masyarakat akan semakin tahu akan kejadian kejadian itu dan diharapkan akan semakin tanggap dengan bencana yang ada. Sekarang cerita tentang letusan gunung, yang biasanya juga disertai gempa.
Beberapa situs peradaban Mataram Hindu di wilayah DIY, seperti Candi Morangan, Sambisari, dan Kedulan ditemukan dalam kondisi terkubur material vulkanik, yaitu dari letusan Merapi.
Contoh lain bencana yang tertulis dalam prasasti ada dalam prasasti Tluron. Pada baris ke 8 dan 9 prasasti itu tertulis, “sampun ya pinagawayakan wluran de saṅluma(ḥ) ||x|| in taṅar.tan tulus saṅke yan kawnaṅan an kabhaya, wkasan ginawai ya de ra_ paḍa(ṅ) pu manohari tan tulus ataḥ…”
Artinya, “Telah dibuat saluran air oleh seseorang yang disemayamkan di Taṅar…tidak terselesaikan dari yang seharusnya, bencana terjadi. Akhirnya dikerjakan oleh rakai , kemudian dikerjakan oleh Rakai Padaṅ Pu Manoharī, tak terselesaikan juga….
Proses tertimbunnya situs-situs tersebut terjadi setelah beberapa kali letusan. Candi-candi yang tadi disebut kebanyakan terkubur di ke dalaman 4-7 meter di bawah permukaan tanah sekarang.
Itu artinya lapisan sedalam itulah yang pernah keluar dari gunung Merapi yang menimbun peradaban di wilayah itu dalam beberapa kali letusannya.
Bagaimana tentang situs Liyangan? Diyakini permukiman itu telah kosong saat awan piroklastika gunung Sindoro datang menerjang. Indikasinya, para peneliti belum menemukan adanya fosil atau sisa tulang belulang manusia terkubur di situs tersebut.
Dari tulisan yang pernah saya baca, disebutkan situs Liyangan tertimbun material vulkanik letusan Gunung Sindoro sedalam lebih kurang 7 meter hingga 10 meter. Diperkirakan, situs itu dibangun zaman Mataram Hindu abad 9 Masehi.
Ada pendapat yang mengkaitkan situs itu dengan berita yang ada di prasasti Rukam 829 saka yang menulis … “wanua i rukam saŋka yan hilaŋ deniŋ guntur… (desa di rukam yang hilang oleh letusan gunung) disebutkan pula adanya … parhyaṅan i limwuŋ … (sebuah tempat peribadatan di limwuŋ)