Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

'Bernyanyilah' Anita dan Pinangki

Keduanya diharapkan bisa membongkar pihak-pihak lain yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra. Ayo, "bernyanyilah" Anita dan Pinangki.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in 'Bernyanyilah' Anita dan Pinangki
Via Warta Kota
Jaksa Pinangki Sirna Malasari (kanan) berfoto dengan buronan Djoko Tjandra (tengah) dan pengacaranya, Anita Kolopaking. (Istimewa) 

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - "Saya kira dia punya banyak sumber. Siapa yang menjadi tikus-tikus di Polri maupun Kejagung," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md di Jakarta, Jumat (31/7/2020) seperti dikutip dari Kompas TV.

Sebenarnya tidak hanya "dia", tapi "mereka", yakni Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, pengacara Djoko Tjandra, dan Pinangki Sirna Malasari, jaksa yang bersama Anita bertemu terpidana dua tahun penjara dalam kasus korupsi "cessie" Bank Bali Rp 904 miliar itu.

Keduanya diharapkan bisa membongkar pihak-pihak lain yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra.

Ayo, "bernyanyilah" Anita dan Pinangki.

Polri perlu menawarkan status "justice collaborator" kepada Anita dan Pinangki ini.

Baca: Kapolri Rotasi Jabatan Suami Jaksa Pinangki, AKBP Napitupulu Yogi Yusuf

Kucing Serupa Tikus

Berita Rekomendasi

Setelah buron selama 11 tahun sejak 2009, Djoko Tjandra akhirnya ditangkap Polisi Diraja Malaysia dan diserahkan ke Polri di Kualalumpur, Kamis (30/7/2020).

Djoko Tjandra adalah buronan Kejaksaan Agung. Kini, setelah Djoko Tjandra tertangkap, tugas Polri dan Kejagung selanjutnya, kata Mahfud Md, adalah membersihkan institusi masing-masing dari pejabat-pejabat korup yang meraup untung dari kasus kejahatan.

Merekalah yang oleh Mahfud disebut tikus-tikus.

Tidak itu saja, saat ini masih ada 39 buron lain yang kabur ke luar negeri. Ini juga menjadi "PR" bagi Polri dan Kejagung.

Dikabarkan, dua buron kakap baru saja tertangkap di Amerika Serikat.

Apa kata Mahfud itu mengingatkan kita akan ungkapan Deng Xiaoping saat memimpin Tiongkok (1978-1989).

Katanya, "Tak penting kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus."

Tentu tak ada kaitannya dengan "tikus-tikus kantor" yang dimaksud Mahfud Md.

Tapi menyangkut sistem ekonomi yang menurut Deng tak perlu terlalu dipersoalkan apakah sosialisme (kucing hitam) atau kapitalisme (kucing putih), yang penting bisa menyejahterakan rakyat (menangkap tikus).

Tapi dari ungkapan itu ada pelajaran yang bisa dipetik bahwa ternyata kucing adalah binatang yang dapat diandalkan untuk menangkap tikus.

Demikian pun polisi dan jaksa yang dapat diibaratkan sebagai kucing yang diandalkan dapat menangkap pelaku-pelaku kejahatan, termasuk koruptor, yang diibaratkan sebagai tikus. Polisi dan jaksa adalah kucing, koruptor adalah tikus.

Ungkapan Mahfud juga mengingatkan kita akan film animasi "Tom and Jerry", yakni Tom sebagai kucing dan Jerry sebagai tikus di mana keduanya selalu bertengkar.

Bedanya di Indonesia, kucing dan tikus justru berkawan ria. Polisi dan jaksa justru berkomplot dengan koruptor, seperti dalam kasus kaburnya Djoko Tjandra. Akibatnya, kucing pun menyerupai tikus.

Ini sesuai filosofi Tiongkok. Jenis mencari jenis. Emas mencari emas, loyang mencari loyang. Kucing yang bermental tikus pun akan menyerupai tikus.

Ketika Djoko Tjandra sedang dalam perburuan Kejagung, bagaimana bisa jaksa Pinangki bertemu diam-diam dengannya?

Ketika Djoko Tjandra masuk "red notice" Interpol, meski namanya sempat terhapus sejak 2014, bagaimana bisa Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo menerbitkan surat jalan dan memfasilitasi surat keterangan bebas Covid-19 buatnya?

Pinangki telah dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan pada Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung.

Pencopotan Pinangki tertuang dalam Surat Keputusan Wakil Jaksa Agung Nomor Kep/4/041/B/WJA/07/2020 tertanggal 29 Juli 2020 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Tingkat Berat Berupa Pembebasan dari Jabatan Struktural.

Baca: Politikus NasDem Minta Semua Pihak yang Bantu Djoko Tjandra Diproses Hukum

Pinangki terbukti melanggar disiplin. Yakni, pergi ke luar negeri sebanyak sembilan kali selama 2019 tanpa izin tertulis pimpinan, salah satunya bertemu dengan Djoko Tjandra.

Hal tersebut berbeda dengan Polri yang mencopot jabatan sekaligus memidanakan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo karena menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra.

Kapolri Jenderal Idham Azis mencopot jabatan Brigjen Prasetijo Utomo sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri dengan Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1980/VII/KEP./2020 tertanggal 15 Juli 2020.

Adapun status tersangka Prasetijo Utomo tertuang dalam Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor B/106.4a/VII/2020/Ditipidum yang diteken Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo tertanggal 20 Juli 2020.

SPDP tersebut ditujukan kepada Jaksa Agung.

Polri juga mencopot Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Sekretaris National Central Bureau Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo dari jabatan masing-masing.

Dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri akan menelisik dugaan aliran dana dari Djoko Tjandra kepada oknum-oknum tersebut. “No lunch free”, tak ada makan siang gratis. Polri mengisyaratkan akan ada tersangka baru.

Yurisprudensi

Polri juga telah menetapkan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, sebagai tersangka. Anita dijerat dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP terkait penggunaan surat palsu dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.

Mestinya Anita dijerat dengan pasal berlapis. Selain Pasal 263 ayat (2) KUHP, juga Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal tersebut sudah ada yurisprudensinya, yakni ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, Ketua DPR saat itu, dengan Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001, karena merintangi penyidikan atau “obstruction of justice” dengan memfasilitasi pelarian tersangka korupsi proyek KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri itu. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) menghukum Fredrich 7,5 tahun penjara.

Mestinya jaksa Pinangki juga dipidanakan, tidak sekadar dicopot jabatannya. Bagaimana pula dengan nasib Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Anang Supriatna yang juga bertemu Djoko Tjandra? Mengapa pihak Kejagung menghentikan pemeriksaan Anang?

Kasus Pinangki ini bukan yang pertama kali terjadi di Kejagung. Sebelumnya ada jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap saat menangani perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan Sjamsul Nursalim. Bila Kejagung tak tegas, bahkan melindungi oknum-oknumnya dengan semangat "esprit de corps", niscaya akan bermunculan Urip dan Pinangki lain. Kasus Pinangki bukan yang terakhir.

Begitu pun, bila Polri tidak tegas, akan muncul Prasetijo-Prasetijo yang lain. Kasus Prasetijo bukan yang pertama dan terakhir. Sebelumnya ada mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo. Bahkan ada dua mantan Kabareskrim Polri, yakni Komjen Suyitno Landung dan Komjen Susno Duadji.

Bila kucing tak tegas, jangan harap tikus-tikus di Polri dan Kejagung akan jera.

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas