Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menunggu Godot "Reshuffle" Kabinet
Sebagai sebuah ungkapan umum, menunggu Godot kemudian diartikan sebagai menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM
TRIBUNNEWS.COM - Marah itu perlu jika yang dimarahi mau berubah.
Jika tak berubah, buat apa marah?
Ungkapan bijak ini tampaknya perlu disampaikan kepada Presiden Joko Widodo yang hanya dalam kurun waktu dua bulan sudah dua kali marah di depan sidang Kabinet Indonesia Maju.
Pertama, ia marah pada 18 Juni lalu karena dalam situasi krisis pandemi Covid-19 para anggota kabinetnya bekerja biasa-biasa saja.
Serapan anggaran sektor kesehatan untuk penanggulangan Covid-19 juga masih sangat rendah, hanya 1,35 persen.
Saat itu Jokowi bahkan mengancam akan melakukan "reshuffle" atau perombakan kabinet.
Baca: Jokowi Kembali Sentil Menterinya, Pengamat: Kode Reshuffle
Kedua, Jokowi marah pada 3 Agustus lalu. Penyebabnya sama: para menteri bekerja biasa-biasa saja di tengah situasi krisis.
Serapan anggaran untuk stimulus penanggulangan Covid-19 juga masih rendah, yakni 20 persen.
Sesungguhnya kemarahan kedua tak perlu terjadi jika saja Jokowi usai kemarahan yang pertama itu langsung merombak kabinet: copot menteri yang tidak kompeten!
Saat itu sejumlah nama menteri masuk daftar merah, antara lain Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Sosial Juliari Batubara, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, dan ini yang paling kontroversial: Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo!
Usai disentil Presiden, kabinet seperti bergegas tancap gas. Terbukti kemudian Menteri Sekretaris Negara Pratikno memaklumatkan tak jadi ada "reshuffle' karena kinerja kabinet membaik.
Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah kabinet terjebak kutukan Sisifus.
Kutukan Sisifus
Sisifus adalah tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia, yakni mendorong batu ke puncak gunung, namun ketika hendak mencapai puncak, batu itu menggelinding jatuh kembali.
Sisifus pun harus mengulangi pekerjaan mendorong batu itu ke puncak, lalu jatuh lagi, lalu dorong lagi, begitu seterusnya. Mengapa Sisifus dikutuk? Karena ia mencuri rahasia para dewa.
Adalah Albert Camus (1913-1960), sastrawan eksistensialis asal Perancis, yang pada 1942 menulis “Le Mythe de Sisyphe” (Mitos Sisifus) itu.
Mengapa kabinet terjebak kutukan Sisifus? Inilah kekeliruan Presiden Jokowi sejak awal, bahkan sejak awal Kabinet Kerja atau periode pertama kepemimpinannya. Jokowi menyusun kabinet berdasarkan politik etis atau politik balas budi.
Jokowi mengingkari janjinya untuk menghadirkan zaken kabinet atau kabinet ahli.
Akibatnya, masing-masing menteri punya "hidden agenda" atau agenda terselubung sendiri-sendiri.
Yang berasal dari parpol menginduk ke agenda parpolnya. Sebut saja Menteri Edhy Prabowo yang ngotot mengekspor benih lobster, suatu hal yang melawan akal sehat di samping merugikan perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.
Ternyata, elite-elite parpolnya ada di balik nama-nama perusahaan eksportir benur atau benih lobster.
Yang dari kalangan milenial terikat dengan bisnis "startup" atau usaha rintisannya. Contohnya, Mendikbud Nadiem Makarim.
Yang dari kalangan independen atau non-parpol terjebak "yes man" dan "ABS" (Asal Bapak Senang). Mereka cenderung "ngathok" atau cari muka, tanpa keahlian yang memadai. Contohnya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Teten Masduki.
Selagi Jokowi masih terjebak politik etis, jangan berharap kinerja kabinet akan membaik. Karena yang ada adalah rasa "ewuh pakewuh" atau sungkan, seperti terhadap Menkes Terawan.
Ditambah dengan peran Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin yang "antara ada dan tiada", maka makin sempurnalah keterpurukan Kabinet Indonesia Maju. Lalu, kapan ada '"reshuffle"?
Berharap ada perombakan kabinet ibarat menunggu Godot.
Dikutip dari sebuah sumber, istilah “menunggu Godot” berasal dari judul (naskah) drama dua babak karya Samuel Beckett, yang pentas perdananya digelar di Paris, Perancis, tahun 1953.
Mahakarya berupa drama absurd yang hanya menampilkan lima aktor ini berkisah tentang Estragon dan Vladimir yang sedang menantikan kedatangan Godot, sosok yang mewakili gagasan sentral yang notabene justru tidak pernah muncul sepanjang cerita.
Sebagai sebuah ungkapan umum, menunggu Godot kemudian diartikan sebagai menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.
Secara konotatif, ini bisa berarti sebuah kesia-siaan atau bisa juga ketidakmampuan (yang keterlaluan) dalam membaca situasi atau gelagat. Dengan kata lain: sebuah penantian konyol.
* Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM:Mantan Anggota DPR RI.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.