Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Nama-nama dan Jenis Penyakit Masa Lampau Menurut Prasasti Jawa Kuno
Humbelen atau pilek adalah penyakit pada masa Jawa Kuno yang termasuk dalam wikara (perubahan). Ada lagi bubuhen/wudunen, buler/katarak dan beleken.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : GOENAWAN A SAMBODO, Epigraf & Ahli Sejarah Kuno
EPIGRAF Universitas Gadjah Mada, Riboet Darmosoetopo dalam “Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU” menjelaskan, pada masa Jawa Kuno penyakit termasuk dalam wikara.
Artinya perubahan, khususnya keadaan tubuh dan mental yang lebih buruk dari biasanya. Berdasarkan data prasasti abad ke-9–10 dan kesusastraan, ada bermacam-macam wikara.
Ada wikara yang disebabkan penyakit, wikara sejak lahir, wikara yang terjadi karena perubahan kejiwaan, dan wikara karena kena kutuk.
Ada istilah humbelen atau sakit pilek adalah penyakit pada masa Jawa Kuno yang termasuk dalam wikara (perubahan).
Ada lagi bubuhen atau wudunen (bisul). Lalu ada buler atau sakit katarak dan sakit mata lainnya yaitu belek. Kemudian ada wudug atau lepra, panastis atau sakit malaria, dan uleren atau sakit karena cacing.
Kejadian wahin = bersin, yang sekarang ini kalau dilakukan di muka umum seakan akan menjadi “dosa besar” itupun juga sudah tertulis sejak dulu
Bahkan dalam Korawāśrama disebutkan “mawahin pwa saŋ Kālasūnya, ya ta dadi gĕlap ; saŋ Kālasūnya bersin yang menjadi petir.”
Artinya, “Bila semua itu telah disebut di prasasti atau naskah, berarti itu adalah juga gambaran penyakit yang terjadi di masyarakat waktu itu”.
Terdapat 7 wikara yang sangat ditakuti, yaitu kuming (impoten), panten (banci), gringen (sakit-sakitan), wudug (lepra), busung (perut membengkak), janggitan (gila), dan keneng sapa (terkena kutuk).
Wikara yang disebabkan kena kutuk dapat bersifat jasmani maupun rohani. Prasasti Wiharu II (851 Saka) menyebut ada orang yang meninggal dunia karena perutnya membengkak (matya busunga).
Prasasti itu juga mencatat penderita ayan (ayana), orang yang disambar petir padahal tak sedang hujan (samberen ing glap tanpa hudan), dan tenggelam di bendungan (klêmakên ring dawuhan).
Baca: Kitab Pararaton, Letusan Gunung Berapi, dan Tanda-tanda Bencana di Masa Kuno
Baca: Jejak Bencana dan Wabah Penyakit Masa Lampau Menurut Prasasti dan Sumber Sejarah Kuno
Penyakit karena kutukan dibahas pula dalam Kitab Rajapatigundala, naskah undang-undang yang ditulis Raja Bhatati (nama lain Kertanagara) dan disusun kembali pada zaman Majapahit.
Pada bagian sapatha disebut nama-nama penyakit yang akan menimpa orang jika tak mematuhi hukum.
“…, untuk orang yang tidak mematuhi, dia akan mendapat kesengsaraan,… hidup mereka akan tanpa mendapat kesehatan, mereka akan sakit kusta, tidak dapat melihat dengan sempurna, sakit gila, cacat mental, buta, bungkuk. Maka semua orang yang tidak mematuhi akan dikutuk oleh Raja Patigundala yang suci,”.