Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menelusuri Jalur Pelesir Raja Agung Majapahit Hayam Wuruk (1)
Pu Prapanca mencatat perjalanan pesiar Raja Hayam Wuruk ke desa-desa dalam naskah Desawarnnana, kelak populer disebut kitab Negarakrtagama.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : NURHADI RANGKUTI, Purbakalawan
"TIAP bulan sehabis musim hujan, beliau (Raja Hayam Wuruk) pesiar keliling seluruh negara. Naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi menteri, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta."
Nyatanya, tak ada kereta kencana dan para pembesar yang ikut. Mobil Hiace tua sendirian melaju kencang mencoba menerobos saluran waktu ke September 1359 Masehi.
Saat itu di Mojokerto, Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara, raja termashyur dari Majapahit, berangkat dari ibu kota Majapahit untuk mengunjungi desa dan kota di ujung timur Pulau Jawa.
Para penumpang di dalam mobil tua itu terlambat 640 tahun ketika meninggalkan ibukota Majapahit (kini tinggal puing di Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur).
Mereka menyusul rombongan Hayam Wuruk yang pergi menuju tempat favorit sang raja di tenggara ibukota.
Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling. Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan.
Girang melancong mengunjungi Wewe, Pikatan setempat dengan Candilima. Itulah isi kitab Nagara-kretagama pupuh 17 yang dibaca perlahan-lahan Drs Budi Santoso Wibowo, arkeolog dari SPSP Jawa Timur, penumpang mobil tua itu.
Kitab karya Mpu Prapanca itu yang digubah sekitar 1365, menjadi pedoman para penumpang Hiace dibantu petunjuk dari peta topografi terbitan 1943.
Pada sebuah tempat bertemunya sungai-sungai kecil, mobil berhenti di depan kompleks makam penduduk desa. Wow, akhirnya sampai juga di Candilima.
Tetapi yakinlah, Hayam Wuruk pasti sudah meninggalkan tempat itu. Candilima kini hanyalah sebuah dusun kecil masuk wilayah Desa Dinoyo, Kecamatan Jatirejo di Mojokerto.
Salah seorang anggota tim Hiace mengeluarkan alat GPS (Global Positioning System) mencari posisi koordinat tempat bersejarah itu melalui satelit.
Candilima: 7o 35’ 37,1” Lintang Selatan 112o 25’ 55,3” Bujur Timur. Jaraknya sekitar 7 km di sebelah tenggara Trowulan
Mungkin Hayam Wuruk tidak akan pernah tahu, tempat yang disenanginya itu kini menjadi lokasi makam penduduk.
Tak ada lagi bangunan candi yang tegak di situ, hanya tersisa batu-batunya saja dari andesit, kepala kala, dan pecahan-pecahan keramik Cina masa dinasti Yuan (13-14 Masehi) dan kepingan-kepingan wadah tembikar halus tipe Majapahit.
Setelah menikmati pemandangan alam sebentar, berupa tempuran (tempat pertemuan sungai-sungai kecil menyatu di Sungai Brangkal), rombongan yang “ketinggalan” itu masuk mobil untuk kemudian menggelinding ke arah tenggara, mencari lokasi Pikatan dan Wewe.
“Menurut laporan purbakala yang disusun orang Belanda, Pikatan ada di sekitar sini,” kata Budi Santoso Wibowo, ketika melewati Desa Karangbening di Kecamatan Gondang.
Di tempat itu memang ditemukan nama Pikatan, yaitu nama sungai yang bertemu sungai-sungai yang ada di Candilima.
Di luar dugaan, Wewe berhasil ditemukan. Lokasinya di tepi Sungai Pikatan. Tepatnya di Desa Karangbening, Kecamatan Gondang, berjarak 2,4 km dari Candilima.
Di lihat dari peta, tampak jelas Candilima, Pikatan dan Wewe terletak pada lahan berbentuk kipas fluvio vulkanik.
Prof Dr Sutikno dari Fakultas Geografi UGM, dalam buku 700 Tahun Majapahit (1993) menyatakan bentuk lahan kipas fluvio vulkanik mempunyai ciri-ciri topografi menyerupai bentuk kipas yang terbentuk oleh proses fluvial dengan material bahan vulkanik.
Pembentukan kipas itu diakibatkan aliran sungai yang berasal dari gunung api Anjasmoro dan Welirang, yang mengalir ke arah barat melalui daerah dengan perubahan topografi yang tegas.
Semula sungai-sungai tersebut mengalir di daerah yang relatif berlereng terjal kemudian mengalir pada daerah yang relatif datar seperti yang terjadi di hulu sungai Brangkal di sebelah tenggara Trowulan (Sutikno1993:20).
Pembentukan kipas fluvio vulkanik dimulai dari pertemuan Sungai Brangkal dan Sungai Boro di sekitar daerah Desa Baurena dan Desa Jetis.
Para penumpang keluar mobil dan menyebar mencari pecahan-pecahan keramik di Dusun Wewe.
Hingga sampai pada satu tempat di belakang rumah salah seorang penduduk, tim Hiace ternganga sekaligus bikin kepala pening melihat peninggalan yang ada.
Sisa-sisa bangunan tempat tinggal kuna berkesan mewah dari bata, persis seperti permukiman kaum elite Majapahit yang terdapat di Situs Trowulan kota Majapahit, hanya dalam ukuran yang lebih kecil.
Bangunan megah masa Majapahit itu dilengkapi pula oleh sumur-sumur berdinding tanah liat, dan perlengkapan rumah tangga berupa keramik-keramik dari Cina dan Vietnam yang terserak begitu saja di permukaan tanah.
Sudah barang tentu tinggal pecahan-pecahannya saja. “Di sini tempat keraton cilik Majapahit”, ujar seorang tua menjelaskan.
Para anggota tim Hiace mengiyakan dalam hati. Akan tetapi yang bikin kepala pening adalah melihat bata-bata kuna yang ditumpuk meninggi, siap untuk di angkut truk.
“Dulu truk-truk yang datang lebih banyak daripada sekarang,” kata orang tua itu lagi. Dulu, bata-bata kuna di situs Trowulan laku keras untuk bahan semen growol (semen merah).
Penggalian bata itu melenyapkan lapisan tanah budaya masa Majapahit, batin seorang anggota tim. Pemusnahan budaya Majapahit ternyata masih berlangsung sampai sekarang.
Lesu, para anggota tim kembali ke mobil. Di pinggir mobil, sudah bertumpuk kantung-kantung plastik hitam sarat dengan pecahan keramik kuna berhias warna warni.
Hadiah dari gadis-gadis kecil desa yang mungkin kasihan melihat tim bersusah payah memungut keping-keping porselin dan tembikar di sepanjang jalan.
Profesor dari Belanda juga ikut “menyusul”. Rombongan tim Hiace memang bukan satu-satunya yang pernah mencoba “menyusul” perjalanan Hayam Wuruk.
Kisah perjalanan raja agung ke desa-desa timur Jawa yang termuat dalam Nagarakretagama, telah memikat orang untuk menelusurinya.
Ada 22 pupuh dari 98 pupuh dalam Nagarakretagama yang mengisahkan “kunjungan wisata” Hayam Wuruk ke daerah-daerah timur Jawa dan kembali ke Singhasari.
Dari jumlah pupuh itu tercatat 175 nama tempat, sebagian besar desa dan sisanya kota atau tempat-tempat suci.
Kisah perjalanan itu telah memikat sarjana-sarjana terkenal, seperti NJ Krom dan JF Niermeyer untuk merekonstruksi perjalanan tersebut.
Sarjana yang disebutkan belakangan, yaitu profesor dari Utrecht Belanda, bahkan telah menyusun peta “napak tilas” yang diterbitkan pada tahun 1913 pada Tijdscrift Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, deel XXX.
Rupanya tidak mudah merekonstruksi rute sang Baginda. JF Niermeyer kesulitan mencocokkan nama tempat dalam Nagarakretagama dengan tempat-tempat yang ada sekarang.
Maklum saja, nama-nama Jawa Kuna itu telah banyak yang tidak tercatat lagi dalam peta. Dengan mengandalkan toponim dan peta topografi, sang profesor hanya mampu membuat rute yang bersifat hipotetis belaka.
Namun hipotetis bukan berarti khayalan. Banyak nama tempat yang disebut enam ratus tahun yang lalu masih bisa diidentifikasikan lewat toponim dan bukti arkeologis.
Boleh dikata, usaha JF Niermeyer ternyata meluruskan kembali maksud Mpu Prapanca yang sebenarnya ketika menulis Nagarakretagama.
Prapanca menyebut karyanya itu Desawarnnana, yang pada intinya memuat uraian tentang desa-desa yang dikunjungi Hayam Wuruk.
Sayang, judul itu telah dilupakan umum, dan sekarang lebih populer dengan sebutan Nagarakretagama, berkat kolophon terbitan Dr JLA Brandes: Iti Nagarakretagamasamapta, pada tahun 1896.(BERSAMBUNG – Tulisan pernah dimuat majalah Intisari Septermber 1999)
*) Anda punya tulisan apa saja yang menarik, dan ingin dipublikasikan di Tribunners, kirim naskahnya ke redaksi.tribunners@gmail.com. Panjang naskah minimal 750 kata