Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Antara KAMI dan Petisi 50
Soeharto menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya".
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM
TRIBUNNEWS.COM - Serupa tapi tak sama. Itulah gambaran mengenai Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan Petisi 50.
KAMI dideklarasikan pada Selasa (18/8/2020) lalu, Petisi 50 diluncurkan pada 5 Mei 1980. Tujuannya serupa: mengkritisi pemerintah.
Deklaratornya pun serupa: para mantan pejabat yang pernah duduk di pemerintahan.
Tapi ada yang tak sama. KAMI dideklarasikan pada era Reformasi, sedangkan Petisi 50 diluncurkan pada era Orde Baru.
Ada lagi yang tak sama: pemerintahan Presiden Joko Widodo membiarkan KAMI berjalan, sedangkan rezim Orde Baru represif terhadap Petisi 50.
Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang berisi protes terhadap penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto sebagai senjata politik terhadap lawan-lawan politiknya.
Petisi ini diluncurkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah "ungkapan keprihatinan" dan ditandatangani oleh 50 tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, serta dua mantan Perdana Menteri RI, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir.
Baca: Sekjen MUI Minta Pemerintah Sebaiknya Tidak Memusuhi KAMI, Tapi Merangkulnya
Para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden Soeharto telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila. Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila.
Soeharto menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya".
Soeharto menyetujui tindakan-tindakan yang tidak terhormat oleh militer; sumpah prajurit diletakkan di atas konstitusi; dan prajurit dianjurkan untuk "memilih kawan dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto".
Sementara itu, KAMI dideklarasikan oleh puluhan tokoh yang pernah duduk di pemerintahan, termasuk pada pemerintahan Presiden Jokowi.
Ada Din Syamsuddin, mantan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban. Ada Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Perekonomian, dan ada Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI.
Ada pula Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, dan ada Refly Harun, pakar hukum tata negara yang juga mantan Komisaris Utama PT Jasa Marga.