Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Antara KAMI dan Petisi 50
Soeharto menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya".
Editor: Hasanudin Aco
Ada 10 jati diri yang melatari gerakan KAMI. Salah satunya, KAMI adalah gerakan moral rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan komponen yang berjuang bagi tegaknya kedaulatan negara, terciptanya kesejahteraan rakyat, dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ada 8 maklumat yang mereka usung. Salah satunya, mendesak penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk menegakkan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan (tidak menyimpang dari) jiwa, semangat dan nilai Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila.
Intisari tujuan gerakan KAMI dan Petisi 50 relatif sama. Mereka juga sama-sama dituduh sebagai barisan sakit hati. Bedanya adalah reaksi dan respons pemerintah.
Pemerintahan Presiden Jokowi tak mempermasalahkan gerakan KAMI yang bercita rasa oposisi sebagai bagian dari demokrasi. Sedangkan rezim Orde Baru menganggap Petisi 50 sebagai gerakan politik yang bertendensi makar sehingga harus diberangus. Hak politik dan hak perdata para penandatangan Petisi 50 juga dikebiri. Mereka enggak dikasih hak pilih dan dilarang berhubungan dengan bank.
"Check and Balances"
Suara-suara berbeda memang diperlukan sebagai "check and balances" atau upaya mengontrol kebijakan pemerintah. Apalagi pemerintahan Jokowi kini sudah mengarah ke oligarki, dengan bergabungnya mayoritas partai politik ke dalam koalisi pemerintahan.
Pada era Orde Baru pun demikian, sehingga Petisi 50 hadir untuk melakukan "chekc and balances", apalagi saat itu DPR tak lebih dari sekadar lembaga stempel pemerintah.
Tapi bila dalam perjalanannya nanti KAMI terbukti hanya sekadar merecoki pemerintah dan menimbulkan kegaduhan politik, sebaiknya dievaluasi.
KAMI, sebagai gerakan moral, "yes". Tapi KAMI sebagai gerakan politik, "no". Bila memang mau melakukan gerakan politik, katakanlah untuk menjatuhkan Presiden, dan di sisi lain mengusung calon presiden baru, sebaiknya KAMI bermatamorfosis menjadi partai politik.
Hal ini sudah pernah dilakukan oleh Nasdem dan Gerindra yang sebelumnya sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas).
Selain kecewa terhadap Presiden Jokowi, KAMI yang didukung oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212 juga kecewa terhadap Prabowo Subianto yang bergabung dengan Jokowi menjadi Menteri Pertahanan.
Mereka anggap Prabowo berkhianat. Jadi, di kantong KAMI sesungguhnta sudah ada nama capres untuk Pemilihan Presiden 2024. Kita identifikasi nama capres tersebut adalah Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.
Tak masalah. Tapi bila memang mau melakukan gerakan politik, sekali lagi, sebaiknya KAMI bermetamorfosis menjadi parpol. Itu akan elegan.
Memang, jika dilihat dari 10 jati diri dan 8 maklumat KAMI, tampaknya tak seorang pun yang tak sepakat dengan idealisme tersebut.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.