Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Pilkada di Masa Pandemi Covid-19 dan Matinya Kepakaran

Covid -19 untuk saat ini harus dianggap ancaman besar bagi kemanusiaan. Selain kesehatan, faktor psikologi, sosial, ekonomi juga terserang olehnya.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Pilkada di Masa Pandemi Covid-19 dan Matinya Kepakaran
WARTA KOTA/WARTA KOTA/NUR ICHSAN
SIMULASI PEMUNGUTAN SUARA - KPU Kota Tangerang Selatan, menggelar simulasi pemungutan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan, di lapangan PTPN VIII, Serpong, Sabtu (12/9/2020). Simulasi dilakukan di TPS 18 dan diikuti 419 orang pemilih dari Kelurahan Cilenggang, Serpong, Kota Tangerang Selatan. Kegiatan ini disaksikan langsung Ketua KPU Pusat, Arief Budiman dan dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Pilkada Kota Tangerang Selatan akan digelar pada 9 Desember mendatang. WARTA KOTA/NUR ICHSAN 

OLEH : DWI MUNTAHA, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Analisis Politik Pakar
Dwi Muntaha, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

KECEMASAN akan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2020 dirasakan banyak kalangan.

Belum turun dan melandainya kurva penyebaran Covid -19 serta belum ditemukannya vaksin virus serta obat yang efektif, menghantui rencana perhelatan kontestasi politik tersebut.

Presiden Jokowi juga menyampaikannya kekhawatiran munculnya klaster Pilkada. Pernyataan Jokowi ini, dapat dianggap sebagai perhatian seorang pemimpin atas keselamatan warga negara.

Namun, rencana tersebut juga masuk dalam otoritas politik yang dimilikinya. Dasar hukum pelaksanaan Pilkada 2020 adalah Undang-Undang No 6 tahun 2020 yang mengatur dan menetapkan Pilkada serentak di Desember 2020 disahkan dengan tandatangannya.

Jika mencermati regulasi tersebut, pandemi Covid -19 sudah dimasukkan sebagai pertimbangan untuk penundaan rencana pilkada yang sebelumnya ditetapkan 23 September hingga akhirnya diputuskan pada Desember 2020.

Namun, keputusan ini tergolong berani mengingat jumlah yang terpapar virus Covid -19 semakin tinggi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri telah mengumumkan jumlah calon kepala daerah yang terpapar sudah mencapai angka 63 orang.

Berita Rekomendasi

Sikap masyarakat, jika menggunakan hasil survei dari Indikator Politik dan Charta Politika, masing-masing menunjukan persentase penolakan yang tinggi.

Di survei Indikator Politik angkanya 63,1%, sedang Charta Politika, kendati lebih rendah namun tetap tertinggi dengan angka 54,2 %.

Opini di kalangan pakar pun demikian, banyak yang menyampaikan keberatannya. Misalnya, Prof Dr Djohermansyah Djohan, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), menganggap perlunya penundaan Pilkada hingga Desember 2021, jika kebahayaan kesehatan masyarakat terancam (Kompas, 13/06/20).

Agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan lokal, menurutnya dapat ditunjuk Pelaksana Tugas (Plt) di masing-masing daerah sesuai dengan regulasi yang sudah ada.

Djohermansyah tidak sendiri dengan pernyataannya itu, ada banyak akademisi, pakar pemilu dan politik lokal yang menyampaikannya ke publik di berbagai kesempatan.

Direktur Indobarometer, Muhammad Qodar, dengan prediksi matematik menyebut pilkada dapat menjadi “bom atom” corona, karena virus ini akan memapar ke hampir 20 juta jiwa (Detiknews, 12/09).

Agaknya berbagai pendapat para pakar tersebut tidak menjadi pertimbangan dari para pemilik otoritas kebijakan yang bergeming dengan keputusannya.

Dengan alasan pandemi tidak diketahui kapan berakhirnya serta Pilkada dianggap mampu menggerakkan ekonomi nasional, membuat rencana tersebut tidak terganggu gugat hingga saat ini.

Matinya Kepakaran

Fenomena pengabaian pendapat pakar, pada dasarnya sudah lama terjadi. Semakin membesar di era pesatnya kemajuan teknologi informasi.

Banyak informasi yang terkait dengan kepentingan manusia dengan mudah dapat diperoleh dari internet.

Sayangnya, kegagapan memahami informasi akhirnya menaikkan derajatnya menjadi pengetahuan.

Orang dengan informasi tertentu sudah merasa memiliki pengetahuan, yang pada kenyataannya banyak yang tidak tervalidasi dengan benar.

Akibatnya kebutuhan terhadap pendapat pakar menjadi berkurang, karena banyak orang yang mendadak menjadi ahli di berbagai bidang.

Tentunya, situasi ini bukan seperti yang dibayangkan Gramsci (1947) yang menyebut, semua orang berpotensi menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan bagaimana cara menggunakannya.

Untuk sampai pada tingkat kepakaran ada kapasitas-kapasitas tertentu terpenuhi dan fungsional.  

Menurut Tom Nichols (2017), serangan terhadap kepakaran disebabkan oleh internet yang memfasilitasi pembicaraan tanpa aturan di sosial media.

Penolakan kepakaran bukan karena ketidakpercayaan yang skeptis, tetapi lebih disebabkan oleh narsisme, keinginan aktualisasi diri dengan menghina kepakaran orang lain.

Di sisi lain, merosotnya kepakaran bukan melulu hanya karena perkembangan teknologi informasi.

Ketidakpercayaan pada pakar sudah terbentuk ketika banyak pakar tidak mampu menunjukkan kemanfaatan dari kepakarannya.

Dalam konteks politik, di masa Orde Baru, hanya sedikit pakar yang berani bersuara untuk mengkritik rezim yang otoriter tersebut.

Hal ini mempertegas tesis Robert Brym (1983) yakni kecendrungan historis kaum intelektual yang tadi bebas menjadi terserap ke dalam superstruktur institusional yang meluas dengan cepat dan semakin diatur oleh negara.

Kepakaran didedikasikan untuk membenarkan perilaku rezim dengan dalil-dalil akademis. Lalu apa bedanya dengan sekarang?

Di era transisi demokrasi ini, pada nyatanya belum  mampu memunculkan gerak progresif kaum intelektual.

Sebagian besar masih berharap terserap dalam kekuasaan, bukan tampil untuk mengkritisinya jika dianggap melenceng dari tujuan bernegara  yang termaktub dalam konstitusi.   

Bersatulah Para Pakar

Pandemi ini menguji banyak pihak, termasuk pakar. Sudah saatnya para pakar bersatu memperlihatkan efektifitas kepakaran untuk menyelamatkan bangsa.

Covid -19 untuk saat ini harus dianggap ancaman besar bagi kemanusiaan. Selain kesehatan, faktor psikologi, sosial, ekonomi juga terserang olehnya.

Gangguan ini harus disikapi secara kritis dengan gerakan. Meminjam istilah Cicero, seorang filsuf Italy, “Salus populi suprema lex esto”, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi di suatu negara, maka opini penundaan  harus menggema menjadi gerakan.

Potensi gerakan dapat berasal dari kaum intelektual yang berbasis kampus karena relatif dianggap netral dari kepentingan politik kekuasaan.

Pilkada memang sesuatu yang penting untuk melahirkan sebuah kepemimpinan politik yang legitimed.

Namun, legitimasi yang didapat melalui pilkada di era normal saja, kerap gagal mewujudkan pemerintahan lokal yang efektif.

Pilkada dibayangi dengan praktik-prakti manipulatif, politik identitas, politik uang dan sejumlah bentuk klientilisme yang kemudian menyandera kepala daerah terpilih.

Artinya, memaksakan pelaksanaan pilkada di era pandemi dengan risiko penyebaran virus yang massif adalah pilihan gegabah.

Penyelenggara dan pengawas pilkada akan disibukkan dengan berbagai hal teknis (protokol kesehatan), hingga cenderung mengabaikan substansi dari pentingnya pilkada terselenggara secara demokratis.(*)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas