Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pilkada di Masa Pandemi Covid-19 dan Matinya Kepakaran
Covid -19 untuk saat ini harus dianggap ancaman besar bagi kemanusiaan. Selain kesehatan, faktor psikologi, sosial, ekonomi juga terserang olehnya.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : DWI MUNTAHA, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
KECEMASAN akan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2020 dirasakan banyak kalangan.
Belum turun dan melandainya kurva penyebaran Covid -19 serta belum ditemukannya vaksin virus serta obat yang efektif, menghantui rencana perhelatan kontestasi politik tersebut.
Presiden Jokowi juga menyampaikannya kekhawatiran munculnya klaster Pilkada. Pernyataan Jokowi ini, dapat dianggap sebagai perhatian seorang pemimpin atas keselamatan warga negara.
Namun, rencana tersebut juga masuk dalam otoritas politik yang dimilikinya. Dasar hukum pelaksanaan Pilkada 2020 adalah Undang-Undang No 6 tahun 2020 yang mengatur dan menetapkan Pilkada serentak di Desember 2020 disahkan dengan tandatangannya.
Jika mencermati regulasi tersebut, pandemi Covid -19 sudah dimasukkan sebagai pertimbangan untuk penundaan rencana pilkada yang sebelumnya ditetapkan 23 September hingga akhirnya diputuskan pada Desember 2020.
Namun, keputusan ini tergolong berani mengingat jumlah yang terpapar virus Covid -19 semakin tinggi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri telah mengumumkan jumlah calon kepala daerah yang terpapar sudah mencapai angka 63 orang.
Sikap masyarakat, jika menggunakan hasil survei dari Indikator Politik dan Charta Politika, masing-masing menunjukan persentase penolakan yang tinggi.
Di survei Indikator Politik angkanya 63,1%, sedang Charta Politika, kendati lebih rendah namun tetap tertinggi dengan angka 54,2 %.
Opini di kalangan pakar pun demikian, banyak yang menyampaikan keberatannya. Misalnya, Prof Dr Djohermansyah Djohan, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), menganggap perlunya penundaan Pilkada hingga Desember 2021, jika kebahayaan kesehatan masyarakat terancam (Kompas, 13/06/20).
Agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan lokal, menurutnya dapat ditunjuk Pelaksana Tugas (Plt) di masing-masing daerah sesuai dengan regulasi yang sudah ada.
Djohermansyah tidak sendiri dengan pernyataannya itu, ada banyak akademisi, pakar pemilu dan politik lokal yang menyampaikannya ke publik di berbagai kesempatan.
Direktur Indobarometer, Muhammad Qodar, dengan prediksi matematik menyebut pilkada dapat menjadi “bom atom” corona, karena virus ini akan memapar ke hampir 20 juta jiwa (Detiknews, 12/09).
Agaknya berbagai pendapat para pakar tersebut tidak menjadi pertimbangan dari para pemilik otoritas kebijakan yang bergeming dengan keputusannya.