Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pilkada di Masa Pandemi Covid-19 dan Matinya Kepakaran
Covid -19 untuk saat ini harus dianggap ancaman besar bagi kemanusiaan. Selain kesehatan, faktor psikologi, sosial, ekonomi juga terserang olehnya.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Dengan alasan pandemi tidak diketahui kapan berakhirnya serta Pilkada dianggap mampu menggerakkan ekonomi nasional, membuat rencana tersebut tidak terganggu gugat hingga saat ini.
Matinya Kepakaran
Fenomena pengabaian pendapat pakar, pada dasarnya sudah lama terjadi. Semakin membesar di era pesatnya kemajuan teknologi informasi.
Banyak informasi yang terkait dengan kepentingan manusia dengan mudah dapat diperoleh dari internet.
Sayangnya, kegagapan memahami informasi akhirnya menaikkan derajatnya menjadi pengetahuan.
Orang dengan informasi tertentu sudah merasa memiliki pengetahuan, yang pada kenyataannya banyak yang tidak tervalidasi dengan benar.
Akibatnya kebutuhan terhadap pendapat pakar menjadi berkurang, karena banyak orang yang mendadak menjadi ahli di berbagai bidang.
Tentunya, situasi ini bukan seperti yang dibayangkan Gramsci (1947) yang menyebut, semua orang berpotensi menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan bagaimana cara menggunakannya.
Untuk sampai pada tingkat kepakaran ada kapasitas-kapasitas tertentu terpenuhi dan fungsional.
Menurut Tom Nichols (2017), serangan terhadap kepakaran disebabkan oleh internet yang memfasilitasi pembicaraan tanpa aturan di sosial media.
Penolakan kepakaran bukan karena ketidakpercayaan yang skeptis, tetapi lebih disebabkan oleh narsisme, keinginan aktualisasi diri dengan menghina kepakaran orang lain.
Di sisi lain, merosotnya kepakaran bukan melulu hanya karena perkembangan teknologi informasi.
Ketidakpercayaan pada pakar sudah terbentuk ketika banyak pakar tidak mampu menunjukkan kemanfaatan dari kepakarannya.
Dalam konteks politik, di masa Orde Baru, hanya sedikit pakar yang berani bersuara untuk mengkritik rezim yang otoriter tersebut.