Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pilkada di Masa Pandemi Covid-19 dan Matinya Kepakaran
Covid -19 untuk saat ini harus dianggap ancaman besar bagi kemanusiaan. Selain kesehatan, faktor psikologi, sosial, ekonomi juga terserang olehnya.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Hal ini mempertegas tesis Robert Brym (1983) yakni kecendrungan historis kaum intelektual yang tadi bebas menjadi terserap ke dalam superstruktur institusional yang meluas dengan cepat dan semakin diatur oleh negara.
Kepakaran didedikasikan untuk membenarkan perilaku rezim dengan dalil-dalil akademis. Lalu apa bedanya dengan sekarang?
Di era transisi demokrasi ini, pada nyatanya belum mampu memunculkan gerak progresif kaum intelektual.
Sebagian besar masih berharap terserap dalam kekuasaan, bukan tampil untuk mengkritisinya jika dianggap melenceng dari tujuan bernegara yang termaktub dalam konstitusi.
Bersatulah Para Pakar
Pandemi ini menguji banyak pihak, termasuk pakar. Sudah saatnya para pakar bersatu memperlihatkan efektifitas kepakaran untuk menyelamatkan bangsa.
Covid -19 untuk saat ini harus dianggap ancaman besar bagi kemanusiaan. Selain kesehatan, faktor psikologi, sosial, ekonomi juga terserang olehnya.
Gangguan ini harus disikapi secara kritis dengan gerakan. Meminjam istilah Cicero, seorang filsuf Italy, “Salus populi suprema lex esto”, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi di suatu negara, maka opini penundaan harus menggema menjadi gerakan.
Potensi gerakan dapat berasal dari kaum intelektual yang berbasis kampus karena relatif dianggap netral dari kepentingan politik kekuasaan.
Pilkada memang sesuatu yang penting untuk melahirkan sebuah kepemimpinan politik yang legitimed.
Namun, legitimasi yang didapat melalui pilkada di era normal saja, kerap gagal mewujudkan pemerintahan lokal yang efektif.
Pilkada dibayangi dengan praktik-prakti manipulatif, politik identitas, politik uang dan sejumlah bentuk klientilisme yang kemudian menyandera kepala daerah terpilih.
Artinya, memaksakan pelaksanaan pilkada di era pandemi dengan risiko penyebaran virus yang massif adalah pilihan gegabah.
Penyelenggara dan pengawas pilkada akan disibukkan dengan berbagai hal teknis (protokol kesehatan), hingga cenderung mengabaikan substansi dari pentingnya pilkada terselenggara secara demokratis.(*)