Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Saya PKI!

Dalam kacamata lain, era tahun 1960-an merupakan perang dingin (cold war) antara Amerika Serikat versus Uni Soviet dengan sekutu masing-masing.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Saya PKI!
KOMPAS.com/Ramdhan Triyadi Bempah
Presiden Joko Widodo nonton bareng film G 30 S PKI bersama ratusan warga Bogor, di Makorem Bogor, Jumat (29/9/2017). 

OLEH : SYAMSUDDIN RADJAB, Direktur Eksekutif Jenggala Center, Pengajar Politik Hukum Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta dan UIN Alauddin Makassar

SEPERTI biasa, setiap jelang 30 September ramai-ramai membincangkan PKI karena diduga terlibat dalam aksi pembunuhan para jenderal petinggi AD.

Peristiwa itu sendiri menjadi titik balik petaka bagi kaum kiri di Indonesia dan durjana kemanusiaan dalam sejarah bangsa dan dunia.

Tercatat sekitar dua juta orang kehilangan nyawa akibat peristiwa tersebut. Data lainnya disebut satu juta, lima ratus ribu, dua ratus ribu, dan lain-lain.

Peristiwa sesudahnya, lebih mengerikan lagi. Tidak dibunuh tapi hak-hak perdatanya dipenggal dan dicap dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politiknya.

Jumlahnya tentu lebih banyak karena menyentuh hingga anak turunan eks PKI atau di tuduh PKI. Penggalan sejarah kelam bangsa tersebut harus dilihat dalam konteks politik global dan intrik politik internal perebutan pengaruh dalam kekuasaan politik.

Baca: Hentikan Gatot Nurmantyo yang Tengah Pidato, Ini Alasan Polda Jatim Bubarkan Acara KAMI

Baca: AKBP Iwan, Sosok Polisi yang Hentikan Pidato Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo di Acara KAMI

Selain itu, akan menjadi bias dan ahistoris apalagi dengan melibatkan sentimen agama. Peristiwa itu pula lah yang mengantarkan Soeharto menjadi penguasa tunggal baru mengganti Soekarno yang oleh sebagian pengamat menyebutnya sebagai kudeta merangkak (Creeping Coup d’Etat).

Berita Rekomendasi

Cornel Paper (1971), Benedict Anderson dan Ruth McVey mengemukakan secara apik dalam laporannya, peristiwa tersebut merupakan puncak perseteruan internal Angkatan Darat dalam menilai kepemimpinan Soekarno, pengaruh PKI dan sejumlah kekhwatiran masa depan Indonesia.

Dalam kacamata lain, era tahun 1960-an merupakan perang dingin (cold war) antara Amerika Serikat versus Uni Soviet dengan sekutu masing-masing.

Posisi Indonesia sendiri dipandang lebih cenderung ke kelompok kiri dengan menilai hubungan Soekarno dengan PKI yang semakin karib serta keterlibatan dokter asal Tiongkok yang merawat Soekarno dan keterlibatan Soviet dalam pembangunan Jakarta seperti pembangunan stadion GBK, hotel Indonesia, patung selamat datang yang berdiri kokoh di Bundaran HI dan Tugu Tani di Menteng.

Kedekatan dan partisipasi itu oleh AS dipandang memberi ruang lebar kepada pesaingnya sehinga perlu dilakukan operasi intelijen melalui CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) untuk mencari sekutu baru dengan beberapa opsi diantaranya menjatuhkan Soekarno dan menghancurkan kekuatan PKI.

Di kemudian hari, operasi ini berhasil dan AS mengadopsi pola operasi ini di negara lain seperti Chile tahun 1973 dengan memberi sandi “Djakarta Operation”.

Tujuan operasi menggulingkan pemerintahan sah dan demokratis Presiden Salvador Allende yang berhaluan kiri melalui kudeta yang dilakukan militer dibawah komando Jenderal Agusto Pinochet.

Pinochet sendiri setelah ditendang dari kekuasaan bernasib buronan sepanjang hidupnya dan meninggal tanpa kehormatan sebagai pelanggar HAM berat. Sama dengan Soeharto, meninggal dengan status pelanggar HAM berat dan sebagai tersangka.

Halaman
1234
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas