Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Selamat Datang di Republik Investasi
Menko Polhukam Prof Dr Mahfud MD menyarankan, yang tak sepakat Omnibus Law bisa menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : DWI MUNTHAHA, Peserta Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
PENGESAHAN Rancangan Undang- Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi UU Ciptaker sudah dilakukan.
Seperti banyak diduga sebelumnya, keinginan Presiden Jokowi untuk mempermudah masuknya investasi dengan membuat UU Omnibus Law, berjalan mulus didukung partai koalisi pemerintah yang menguasai parlemen.
Pengesahannya tanpa hambatan yang berarti, selain penolakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan aksi walk out Partai Demokrat yang merasa tidak diindahkan hak suara dan bersuaranya.
Namun demikian, UU Ciptaker rentan dengan gugatan. Dapat dibayangkan, UU ini mempengaruhi isi dari 79 UU dan mengganti 1.244 pasal di dalamnya.
Baca: Akademisi Lintas Perguruan Tinggi Nyatakan Sikap Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja
Baca: Omnibus Law Mustahil Dibatalkan, Ini Hitungan Besar Pesangon PHK Terbaru Berdasarkan UU Cipta Kerja
Baca: Muncul Hoax Soal UU Omnibus Law Ciptaker, Banggar DPR Khawatir Motifnya Memprovokasi Buruh
Menko Polhukam, Mahfud MD menyarankan, bagi yang tidak bersepakat terhadap UU itu untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Saran tersebut seperti hendak menunjukkan ke publik, bahwa republik ini menganut asas negara hukum yang demokratis.
Tentu premis tersebut mengundang perdebatan yang panjang, mengingat faktor kelembagaan di era transisi demokrasi pasca gerakan reformasi 1998, kerap ditingkahi berbagai kasus yang mencederai kepercayaan publik.
Sebagian besar kasus yang terjadi adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Penyebutan KKN adalah penyederhanaan kategorisasi praktik-praktik penyimpangan kekuasaan.
Istilah itu populer dan efektif sebagai amunisi saat menjatuhkan Soeharto, penguasa rezim Orde Baru (Orba).
Sirkulasi elite yang terjadi pasca reformasi, pada kenyataannya tidak signifikan mengubah karakter rezim kekuasaan yang baru.
Menjadi layak untuk dipertanyakan, apakah isu KKN di masa lalu tersebut dianggap lebih merugikan rakyat atau sesungguhnya investor asing jika praktik-praktik semacam itu tetap berlanjut?
Regulasi Demi Investasi
UU Ciptaker dapat menjadi indikator penting untuk melihat ke mana arah dinamika ekonomi politik di masa transisi demokrasi ini.
Setelah kepemimpinan nasional diperoleh melalui proses yang relatif demokratis, agenda-agenda kekuasaannya justru sulit menunjukkan perbedaan dengan rezim kekuasaan sebelumnya.
Partisipasi rakyat hanya terakomodasi dalam proses politik elektoral, bukan keterlibatan ikut menentukan bagaimana masa depan negeri ini.
Demokrasi prosedural yang menjadi dasar kekuasaan, kemudian dimaknai dengan balas jasa pada investor politik karena sistem elektoral yang mensyaratkan biaya politik yang tinggi.
Balas jasa yang dapat diberikan oleh kekuasaan politik adalah regulasi dan program yang berpihak pada investor yang membantunya mendapatkan kekuasaan.
UU Ciptaker merupakan kolaborasi teknokratik yang mencoba merasionalisasi arah pembangunan yang berorietasi pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020 – 2024, dinyatakan: Kebutuhan Investasi dan Pembiayaan untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,4 – 6,0 persen per tahun, dibutuhkan investasi sebesar Rp36.595,6 – 37.447,6 triliun sepanjang tahun 2020-2024.
Dari total kebutuhan tersebut, pemerintah dan BUMN akan menyumbang masing-masing sebesar 11,6 – 13,8 persen dan 7,6 – 7,9 persen, sementara sisanya akan dipenuhi oleh masyarakat atau swasta (RPJMN 2020 - 2024).
Meski RPJMN tersebut hasil revisi di 28 Juni 2020, tidak dimunculkan faktor Pandemi Covid 19 dan tetap optimistis dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Target investasi pun demikian, dan pemerintah hanya menyediakan anggaran maksimal sekitar 20 persen. Artinya sebagian besar investasi dibutuhkan dari swasta yang dapat dipastikan berasal dari luar negeri.
Ambisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi sudah seperti kredo andalan dari pemerintahan rezim reformasi. Dengan berbagai revisi ala neoliberal, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan fisik dalam skala luas dan jangka panjang.
Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikenal Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam dokumennya agenda tersebut akan dijalankan dari 2011- 2025.
SBY sepertinya hendak meninggalkan legacy bagi pemerintahan selanjutnya untuk memiliki pola dan target dalam pembangunan Indonesia.
Kritik yang ditujukan pada rencana tersebut adalah memberi ruang bagi perluasan cara produksi kapitalis bekerja di Indonesia.
Dalam konteks ekologi sendiri, kerusakan-kerusakan lingkungan dipastikan akan terjadi mengingat proyek-proyek yang dirancang membutuhkan lahan-lahan yang luas.
Seperti proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE). Proyek ini dalam rencananya telah mengalokasi lahan 1,6 juta hektare dan akan dibantu dengan investasi perusahaan dari Arab Saudi.
Hanya saja dengan mempertimbangkan kritik dan gerakan masyarakat sipil akhirnya membuat proyek tersebut terhambat pelaksanaannya.
Baca: Omnibus Law Mustahil Dibatalkan, Ini Hitungan Besar Pesangon PHK Terbaru Berdasarkan UU Cipta Kerja
Baca: Bukan dari Jokowi, Luhut Ungkap Siapa yang Pertama Kali Kenalkan Omnibus Law di Indonesia
Di era Jokowi, istilah MP3EI menghilang meski substansi model pembangunan yang dilakukannya tidak jauh berbeda.
Bahkan Jokowi lebih terampil mengeksekusi rencana pembangunan-pembangunan infrastruktur ketimbang SBY.
Dalam masa periode I, dia mampu membangun 1.500 km jalan tol dan ditargetkan menjadi 4.500 km hingga akhir periode keduanya.
Target mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 7% adalah cita-cita Jokowi, hingga dengan berbagai upaya untuk mendatangkan investasi dilakukannya, termasuk deregulasi kebijakan-kebijakan yang menghambat kepentingan tersebut.
Jokowi memenuhi pikirannya dengan berbagai rencana ambisius developmentalism. Proyek Food Estate berlanjut dengan target pembukaan lahan untuk mencetak sawah di Merauke seluas 1,2 juta ha, wilayah Kalimantan Barat (120.000 ha), Kalimantan Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), dan Maluku (190.000 ha).
Lebih ambius lagi dengan rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur. Lahan yang akan dibuka untuk kepentingan tersebut mencapai 180.000 hektare.
Di wilayah calon ibukota baru itu sebelumnya sudah terdapat 162 konsesi tambang, perkebunan sawit dan PLTU Batubara.
Kebijakan-kebijakan Jokowi mulai menuai kritik karena dianggap menjauhkannya otoritasnya dari kepentingan rakyat dan keterjagaan lingkungan hidup.
Hanya saja kadar kritik masih terlalu rendah karena citra low profile yang dimilikinya sudah cukup berkemampuan memunculkan difuse support dari masyarakat luas.
Pengkanalan aktivis kritis ke dalam lingkaran kekuasaan, juga punya pengaruh untuk itu. Jokowi mengeluarkan 16 paket ekonomi yang berisi deregulasi dan debirokratisasi untuk investasi.
Beberapa regulasi yang sudah disahkan, berpotensi melemahkan agenda-agenda reformasi seperti UU KPK, UU Sumberdaya Air, UU Sistem budidaya Tanaman dan UU Minerba.
Terkini adalah UU Omnibus Law yang menjadi catatan sejarah, puncak kemudahan investasi dan meminimalkan tanggungjawab atas konsekuensi dari investasi tersebut.
Jika ini diteruskan, alih-alih kesejahteraan rakyat, yang terjadi adalah perluasan deforestasi yang berakibat pada bencana-bencana alam serta nonalam yang berpotensi menyesengsarakan.(*)