Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bansos Tidak Memihak Usaha Rakyat
Lahirnya para pemimpin di Indonesia, khususnya setelah pilihan langsung untuk menentukan terpilihnya para pemimpin
Editor: Toni Bramantoro
OLEH: Patricia Leila Roose
Pemerintahan yang pro- rakyat sudah menjadi slogan yang bisa berkembang menjadi latah dan ucapan para pemimpin di banyak negara. Implementasi dari pemerintah pro- rakyat bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan mengingat proses lahirnya seorang kepala negara; Gubernur, Bupati maupun Walikota pasti didukung oleh banyak elemen masyarakat.
Lahirnya para pemimpin di Indonesia, khususnya setelah pilihan langsung untuk menentukan terpilihnya para pemimpin maka orang yang terpilih pasti didukung oleh kekuatan-kekuatan penting di dalam masyarakat.
Kekuatan kaum bersenjata ( meskipun tidak nampak cara mendukungnya), kalangan terpelajar, petani, buruh, tokoh - tokoh agama, seniman, ormas- ormas dan pengusaha ikut menentukan terpilihnya seorang presiden atau kepala daerah.
Dalam politik demokrasi yang pemilihnya sudah relatif mandiri, kedaulatan rakyatnya bisa diandalkan, artinya mereka menentukan pilihan bukan berdasarkan sumbangan yang diberikan, slogan, tapi memilih berdasarkan track record dan program yang nyata dan terukur serta tidak merugikan kepentingan kelompoknya.
Di negara yang baru belajar berdemokrasi, pilihan politik syarat dengan kepentingan kelompok ekonomi kuat yang mana secara umum rakyatnya belum berdaulat secara ekonomi.
Cara menjatuhkan pilihan masih sering berdasarkan sumbangan yang diberikan oleh seorang calon ( terutama dalam pilihan bupati atau walikota).
Dalam situasi demikian, calon dari kelompok yang berduit memiliki peluang yang lebih besar untuk terpilih. Pengusaha - pengusaha besar umumnya memiliki organisasi - organisasi yang kuat, biasanya sangat gampang untuk berkomunikasi dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Sedangkan rakyat kebanyakan umumnya belum terorganisir dengan baik, atau kalau ada organisasi atau paguyuban umumnya pemimpinnya tidak berangkat dari bawah tetapi merupakan penunjukkan atau rekayasa dari pemerintah maupun para elit sosial.
Sebagai contoh Kadin, Organda, Apindo, Hipmi sangat akrab dan intens berkomunikasi dengan para penguasa.
Sementara paguyuban pedagang pasar, paguyuban kelompok tani, nelayan, umumnya ada paguyuban tetapi dengan pembina pejabat di wilayah tersebut.
Secara umum putusan paguyuban atau kelompok tersebut selalu meminta restu atau diarahkan para pejabat. Jadi posisi mereka sangat lemah untuk memperjuangkan aspirasi, karena organisasinya tidak bersifat mandiri.
Kira - kira pola relasi antar kelompok dan hubungannya dengan kuasa negara di Indonesia seperti gambaran diatas yang menempatkan usaha kecil dan kaum miskin jauh dari kuasa dan perlindungan negara.
Dalam menghadapi resesi ekonomi dan pandemi corona, pemerintah yang menjanjikan untuk melakukan perlindungan dan membangkitkan ekonomi rakyat dalam prakteknya masih sangat jauh.
Diskriminasi dalam kebijakan dan praktek PSBB sangat jelas pusat - pusat perbelanjaan di berbagai macam kota masih boleh berdagang tapi usaha- usaha kecil justru diawasi secara ketat. Dan mengakibatkan usaha - usaha kecil menjadi mati.
Dalam program bantuan sosial nampak sekali bahwa pemerintah tidak peka serta tidak berupaya untuk menyertakan usaha - usaha rakyat. Penentuan jenis barang yang dianggap layak dan memenuhi syarat menurut kriteria program adalah produk - produk perusahaan besar yang sudah mendapatkan " ijin dari yang berwenang".
Sedangkan produk rakyat yang umumnya tidak memiliki " izin" tidak masuk kriteria jenis barang atau makanan yang layak atau memadai menurut kriteria program bansos. Posisi usaha rakyat yang lemah semacam ini mestinya ditanggapi oleh pemerintah dengan mempermudah izin yang sifatnya " jemput bola".
Petugas yang berwenang harus mendatangi kelompok usaha kecil dan membimbingnya untuk mendapatkan izin secara cepat dan tidak dipungut biaya yang aneh- aneh agar produknya memenuhi syarat sebagai barang atau makanan yang layak masuk kriteria bansos.
Bisa kita bayangkan kalau hal tersebut dilakukan pemerintah, betapa dahsyatnya usaha rakyat yang bisa berkembang dan menyerap tenaga kerja jumlah besar dalam sistem padat karya.
Seandainya alat- alat yang dipakai untuk memproduksi barang atau makanan belum memadai, pemerintah wajib memberikan subsidi atau pinjaman lunak, agar usaha kecil tersebut bisa berdiri setara dengan usaha - usaha besar dan tumbuh berkembang dengan terlibat di program Bansos, meskipun kita sedang menghadapi resesi ekonomi.
Menjadi pertanyaan, mengapa keputusan dan kebijakan pemerintah tidak pernah melibatkan usaha - usaha kecil tersebut ?
Karena posisi mereka secara sistematis diperlemah. Kebijakan yang muncul akhirnya nampak menguntungkan pengusaha - pengusaha besar saja dan tidak melibatkan usaha - usaha kecil.
Pemerintah sebenarnya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menembus hambatan peraturan tersebut dengan menciptakan Perppu untuk melapangkan jalan usaha- usaha kelompok ekonomi lemah tersebut.
Dengan alasan apapun pemerintah tidak bisa mengistimewakan usaha - usaha besar dan menganak- tirikan kelompok ekonomi lemah. Dari kebijakan dan implementasi dari program- program bantuan sosial ini sangat jelas usaha - usaha melindungi kelompok ekonomi tersebut hanya mimpi belaka.
Dari sini bisa kita lihat bahwa kebijakan istana yang dipengaruhi pembisik- pembisik yang membawa kepentingan para konglomerat terlihat nyata.
Bagaimanakah jalan keluarnya agar kelompok ekonomi lemah tersebut bisa berdaya dan tidak dianak- tirikan oleh negara?
Mereka harus bersatu dan membangun organisasi yang mandiri tanpa perlu pengarah penasehat dari pihak pemerintah. Mereka harus bangkit sendiri dan akhirnya harus bisa berkomunikasi langsung dengan pusat - pusat pemerintahan untuk memperjuangkan dan mengubah nasib mereka tanpa melewati para makelar.
*Patricia Leila Roose.SH,.MH. Pemerhati Sosial, politik, Hukum Tata Negara, Advokat, Alumni Magister Hukum Universitas Bung Karno.