Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Hentikan Demonstrasi! Mari Selesaikan Masalah dengan Komunikasi yang Baik

Demonstrasi memang diperbolehkan di alam demokrasi tetapi harus disampaikan dengan cara yang baik.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Hentikan Demonstrasi! Mari Selesaikan Masalah dengan Komunikasi yang Baik
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon. 

Pelaku vandalisme bisa dikenai Pasal 406 KUHP subsider Pasal 489 KUHP. Dalam pasal ini jelas bahwa seseorang yang merusak barang orang lain harus dipenjara selama 2,8 tahun.

Lantas, bagaimana jika vandalisme itu terorganisir, sistematis, dan selalu mengiringi aksi demonstrasi damai? Sejak lama, Ketua Komisi III Herman Hery sudah curiga, bahwa vandalisme merupakan aksi terorganisir, yang memiliki dalang intelektual di belakangnya.

Kecurigaan semacam ini masuk di akal. Dengan melihat aksi penolakan UU Omnibuslaw, mayoritas aksi demonstrasi berakhir dengan anarkisme dan vandalisme. Pengrusakan fasilitas publik terjadi dimana-mana. Apakah dalam situasi semacam ini tidak ambil pelajaran?

Kritik atas UU Omnibuslaw melalui jalur keriuhan di jalanan sudah cukup. Cukup diwakili oleh teman-teman mahasiswa. Biar mereka belajar cara mengkritik pemerintahan, karena memang mereka masih dalam masa-masa menempuh pendidikan.

Kita telah memasuki puncak peradaban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aturan tata kelola negara dan tata sosial berbangsa telah dipasrahkan ke dalam teks, bahasa, atau kita sebut hukum. Berbahasa adalah ciri manusia. karenanya, mari selesaikan permasalah melalu komunikasi yang baik.

Sebaliknya, demonstrasi yang dibayangi oleh potensi vandalisme-anarkis adalah wujud lain dari barbarisme.

Persoalan-persoalan kontroversial dalam pasal-pasal UU Omnibuslaw Ciptaker ini bukan perkara yang mudah dan pasti berhasil dikritik lewat demo di jalanan. Inilah undang-undang yang sarat kepentingan politik global.

Berita Rekomendasi

Karenanya, mengkritik UU Omnibuslaw dengan jalur demo di jalanan, terlebih di tengah pandemi, hanya membebani Pemerintah dan Kepolisian.

Kelompok-kelompok demonstran harus memahami “manusia barbar”, yakni manusia yang dianggap sebagai primitif, terbelakang secara kebudayaan, teknologi, dan sofistifikasi ekonomi.

Artinya, mengkritik pemerintah dan DPR dengan cara melanggar undang-undang Social Distancing adalah cara berpikir yang terbelakang. Apalagi terbukti, demo di jalanan dibayang-bayangi vandalisme, yang entah siapa pelakunya.

Sebagai sebuah komunitas harus berpikir selangkah lebih maju ditimbang para mahasiswa-mahasiswa kemarin. Jangan sia-siakan kesempatan mengkritik pemerintah terkait UU Ciptaker ini, namun dengan catatan jangan menambah beban kepolisian. Dengan adanya kasus-kasus vandalisme kemarin itu, mengulangi demo jalanan tidak akan membawa kemajuan filosofis dalam memecahkan problem ekonomi-politis UU Ciptaker tersebut.

Detik-detik ini, tugas utama Kepolisian adalah membongkar jaringan vandalisme, dan membongkar mengapa ia selalu membayang-bayangi setiap kali ada aksi demonstrasi, sehingga citra positif demonstrasi di mata publik jadi tercoreng.

Kelompok demonstran tidak perlu menghabiskan tenaga untuk berdemo, dan lebih baik fokus pada cara kritik lain yang lebih konstruktif.

*Pengasuh pondok pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas