Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Proyek Food Estate Mengancam Kedaulatan Petani Indonesia
Proyek food estate ala pemerintahan Jokowi memerlukan lahan baru dalam jumlah sangat luas dikhawatirkan akan berdampak pada lingkungan.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Menyusutnya jumlah petani merupakan kode keras, bahwa menjadi petani bukanlah cita-cita yang diharapkan.
Problem mendasarnya adalah orientasi kebijakan pembangunan pemerintah yang lebih condong mengembangkan sektor-sektor yang memicu pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Akibatnya tingkat kemiskinan tertinggi saat ini ada di wilayah pedesaan, di mana petani hidup di sana.
Mengapa kesejahteraan petani berada pada titik yang rendah, sementara mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi beras setiap harinya?
Rata-rata konsumsi beras per kapita, 92,9 kg/pertahun (Kementan, 2020). Jika dikalikan dengan jumlah penduduk yang mencapai 260 juta jiwa, maka kebutuhan beras per tahun di angka 24, 1 juta ton.
Lalu kita lihat berapa luas areal tanaman padi di Indonesia. Data BPS 2019 menyebut luas lahan baku mencapai 7, 4 juta hektar.
Sementara luasan panennya sekitar 10,68 juta. Produksi yang dihasilkan 54,60 juta gabah kering giling (GKG) dan berakhir dalam bentuk beras sejumlah 31,31 juta ton.
Dari selisih luas lahan baku dengan luas panen dapat dilihat belum optimalnya pengelolaannya. Kendati demikian perhitungan angka ketersediaan pangan melampaui kebutuhan pangan nasional.
Lalu apa urgensi Jokowi memprioritaskan food estate, bukannya optimalisasi lahan yang sudah ada, memperbaiki rantai pasok pangan dan memperbaiki taraf hidup petani?
Hanya sekitar 5 persen dari total petani di Indonesia yang memiliki lahan di atas 2 hektare. Mayoritas petani lainnya hanya memiliki lahan di bawah 0,50 hektare.
Sementara petani tanpa lahan jumlahnya sangat tinggi hampir mencapai 6 juta jiwa atau 17,34% (BPS, 2019).
Rendahnya kepemilikkan lahan membuat potensi yang besar di sektor pertanian tidak terkait dengan kesejahteraan petani.
Ditambah lagi banyaknya pencari rente yang membuat kesempatan petani menjadi semakin terbatas.
Sementara, pemerintah kerap berakrobat dengan regulasi dan program yang menjadikan siklus paradoksal bagi petani.