Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Proyek Food Estate Mengancam Kedaulatan Petani Indonesia
Proyek food estate ala pemerintahan Jokowi memerlukan lahan baru dalam jumlah sangat luas dikhawatirkan akan berdampak pada lingkungan.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Sebelum RUU Ciptaker yang memberi kemudahan investasi disahkan, terlebih dulu sudah dipersiapkan prakondisi mudahnya lahan terlepas dari petani.
Meski pun ada ayat yang menyebutkan larangan mengalihfungsikan lahan budidaya pertanian (pasal 31, UU Ciptaker), namun ayat berikutnya dapat menegasikannya dengan peraturan lain.
Program reforma agraria yang diusung Jokowi jauh dari pencapaian target di periode awal pemerintahannya.
Janjikan distribusi lahan seluas 9 juta ha tidak terrealisasi. Program yang berjalan terkait lahan adalah sertifikasi lahan pertanian dan perhutanan sosial yang gencar dilakukan saat menjelang kampanye Pilpres diakhir masa pemerintahannya.
Hal ini sudah cukup untuk membuat kekhawatiran, mengingat pembagian sertifikat diiringi pesan, lahan tersebut dapat menjadi agunan untuk pinjaman ke bank.
Dalam bentuk lain kepemilikkan sertifikat hak milik juga dapat mempermudahkan mutasi kepemilikkan.
Saat ini, di awal periode keduanya, Jokowi gigih untuk melanjutkan program food estate yang telah dirintis di masa Orde Baru dan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tanpa informasi yang jelas tentang konsep dan skemanya, food estate diluncurkan sebagai PSN ketahanan pangandan dikomandoi Menteri Pertahanan.
Menjadi aneh, publik harus memahami sebuah megaproyek tanpa dokumen yang jelas. Jika petani akan diuntungkan karena disebut-sebut sebagai salah satu tujuannya, tidak terdapat penjelasan bagaimana proyek tersebut dilaksanakan hingga berkaitan dengan upaya penyejahteraan petani.
Jokowi hanya menggadang-gadang aspek high technology, bahwa akan ada mekanisasi dalam pengolahan lahan serta perawatan tanaman.
Dengan penjelasan yang minim, dugaan yang muncul justru, alih-alih menyejahterakan, petani akan semakin termarginalisasi.
Terlebih seorang pejabat di Kementan menyatakan UU Ciptaker dibuat untuk memenuhi tuntutan World Trade Organization (WTO) hingga merevisi beberapa regulasi yang memiliki muatan perlindungan terhadap petani.
Alasannya disebutkan untuk memperbaiki kinerja ekspor Indonesia (Kompas,9/10). Pemerintah dalam konteks ini harus menjelaskan dengan transparan ke publik, karena target luasan Food Estate 1,2 juta ha hingga 2024 berkonsekuensi pada pembukaan lahan baru.
Krisis ekologis di Indonesia sudah tergolong parah, diperlukan kehati-hatian untuk mewujudkan ambisi-ambisi pembangunan yang justru dapat berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat, khususnya petani.(*)