Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Impor Hortikultura Dalam Perspektif UU Cipta Kerja

Kegelisahan impor hortikultura, khususnya buah sudah dikemukakan sejak Suharto akan berakhir masa kepemimpinannya.

Editor: Content Writer
zoom-in Impor Hortikultura Dalam Perspektif UU Cipta Kerja
Warta Kota/adhy kelana/kla/kla
Ilustrasi buah impor. (Warta Kota/adhy kelana/kla) 

Oleh: Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB, Muhammad Firdaus

TRIBUNNEWS.COM - Kegelisahan impor hortikultura, khususnya buah sudah dikemukakan sejak Suharto akan berakhir masa kepemimpinannya. Setelah dibangun Taman Buah Mekarsari, urusan penelitian dan pengembangan buah secara lebih fundamental, sebagian diserahkan kepada IPB dengan berdirinya Pusat Kajian Buah Tropika menjelang akhir 1990-an.

Kementerian Pertanian tetap berkiprah dengan Badan Litbang yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing melalui riset terapan secara sistematis. Sedangkan untuk sayuran, Indonesia mempunyai prestasi eskpor cukup signifikan khususnya ke pasar ASEAN, meskipun defisit terjadi karena impor yang sangat besar dari bawang putih yang dikategorikan sebagai sayuran dalam kode klasifikasi BPS dan internasional.

Perhatian secara serius pada pengembangan buah nasional dilakukan pada awal dekade 2000-an dengan program Riset Unggulan Strategi Nasional (RUSNAS buah) yang berhenti pada tiga perempat jalan di 2010. Prediksi tingginya konsumsi buah saat ini di Indonesia karena membaiknya pendapatan masyarakat serta pertambahan jumlah penduduk, sudah dikemukakan lebih dari dua dekade lalu.

Dengan ukuran pasar yang sangat besar, maka ketidakmampuan pemenuhan pasokan yang berasal dari produksi nasional, khususnya jika diinginkan untuk sediaan sepanjang tahun, menyebabkan impor buah masih terus mengisi pasar dalam negeri. Aliran impor ini didorong juga dengan penampakan buah impor yang lebih menarik (misal warna kuning atau jingga yang tidak perlu proses degreening), dan beberapa jenis buah yang hanya bisa disuplai secara massif dari daerah sub tropis seperti pear, anggur dan apel.

Sampai saat ini pun secara rerata konsumsi buah di Indonesia masih kurang dari rekomendasi minimum FAO. Penduduk di Amerika Serikat mengkonsumsi buah lebih banyak empat kali dari rata-rata orang Indonesia. Sejak kecil, anak-anak sudah dilazimkan menonton tayangan iklan untuk menggemari sayur dan buah. Meskipun demikian, karena buah bukan termasuk komoditi yang berpengaruh signifikan pada tingkat inflasi, maka berbeda dengan komoditi seperti cabe dan bawang merah, pergerakan harga buah selama ini tidak menjadi perhatian khusus Pemerintah.

Karakteristik buah yang sangat beragam jenisnya dan sering sangat spesifik lokasi, menyebabkan buah tidak dikategorikan sebagai komoditas strategis yang perlu mendapatkan atensi khusus baik pasokan maupun harganya. Selama ini pasokan buah dari dalam negeri memang mengalir menyesuaikan dengan musim. Dari observasi selama ini, secara jelas saat pasokan mangga, buah yang secara umum disukai semua kalangan membanjiri pasar, dalam beberapa bulan mulai Agustus sampai menjelang akhir tahun akan ada penurunan penjualan buah impor di pasar becek dan ritel modern.

Berita Rekomendasi

Akhir dan awal tahun adalah masa musim panen banyak jenis buah di berbagai sentra produksi di Indonesia. Saat menjelang tengah tahun, buah dari dalam negeri langka maka importir biasanya mengeluarkan buah dari luar negeri yang sudah cukup lama berada di gudang pendinginnya. Harga buah yang dipanen beberapa bulan sebelum dikonsumsi dengan yang sudah menahun di gudang tentu sangat berbeda, seperti yang tersedia di ritel modern eksklusif (Ranch market, Total Buah Segar dll.) atau kios-kios buah di pinggir jalan.

Intervensi Pemerintah dalam proses impor hortikultura, seperti yang selama ini diterapkan dengan RIPH (rekomendasi impor produk hortikultura), adalah keniscayaan yang juga diterapkan oleh banyak negara maju. Namun dengan komitmen yang dicanangkan Pemerintah sejak tahun 1994 terkait perjanjian WTO, tuntutan dari dua negara pertanian maju yaitu AS dan Selandia Baru, menyebabkan Indonesia harus merevisi 18 macam peraturan, termasuk beberapa UU terkait.

Dalam perkembangan terakhir, UU Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR sekaligus mengakomodir tuntutan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pemahaman yang harus mendapatkan perhatian publik, dalam memaknai perubahan pasal-pasal terkait.

Sebelum ada perubahan pasal pada UU Cipta Kerja, pada tiga prolegnas (UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan dan UU Hortikultura) dinyatakan bahwa impor pangan, termasuk hortikultura, dilakukan hanya jika produksi dalam negeri tidak mencukupi. Ini direvisi menjadi: pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan dengan memanfaatkan sumber produksi dalam negeri, cadangan pangan dan impor. Ada klausul pada ayat berikutnya bahwa impor tersebut harus memperhatikan kepentingan petani dan nelayan.

Dinyatakan instrumen baik tarif maupun non tarif dapat digunakan. Ini adalah jalan tengah dalam menjaga kepentingan nasional kemandirian pangan, di tengah urgensi mempertahankan sediaan dan harga karena kebutuhan dari rumah tangga dan konsumen industri. Untuk impor hortikultura, pada UU Cipta Kerja juga masih ada keharusan standar mutu dan pembatasan pelabuhan impor.

Perdagangan internasional harus berjalan dengan landasan saling menguntungkan. Contoh sederhana dengan salah satu mitra dagang utama, sampai saat ini impor non migas tertinggi dari AS ketiganya adalah produk pertanian mencakup gandum, kedelai dan kapas.

Namun nilai impor ketiganya yang sangat tinggi tertutupi bahkan surplus, oleh hanya dua komoditi pertanian dan perikanan yaitu karet, olahan karet dan udang. Untuk hortikultura yang memang baru mendapatkan perhatian secara sangat serius dari Pemerintah sejak akhir 1990-an, defisit memang masih terjadi. Namun bukan berarti tidak ada keberpihakan dalam mengatur impor.

Sebagai contoh kita masih sangat membatasi impor cabe segar, dan industri memang lebih tertarik mengambil cabe kering dari pasar cabe terbesar di India, yang diproduksi dengan biaya pokok sangat rendah.

Dalam implementasi UU Cipta Kerja, Kementerian terkait sudah mempersiapkan risk based analysis (RBA) untuk impor hortikultura. Hasilnya adalah pengkategorian impor hortikultura sebagai usaha yang dapat berjalan murni komersial atau memerlukan izin dalam pelaksanaannya. Mempertimbangkan faktor risiko seperti lingkungan (kesehatan hewan dan tumbuhan) serta dampak sosial (kepentingan petani); bisa jadi impor hortikultura masuk kategori kedua dengan risiko tinggi.

Beberapa negara pertanian lain menerapkan instrumen seperti tarif (rerata tarif terapan impor sayuran Thailand jauh di atas Indonesia). Thailand juga lebih dapat menerapkan hambatan seperti TBT karena sudah menerapkan good agricultural practices (GAP) pada orchard-orchard buah yang diregistrasi secara baik.

Australia sejak awal 2000-an sudah menerapkan berbagai hambatan non tarif untuk impor durian, lengkeng dan manggis, meskipun daerah utara yang ingin dikembangkan buah tropis belum berhasil secara baik dilakukan. Inilah lesson learned yang dapat dipelajari oleh kita dalam kebijakan impor hortikultura.

Hambatan perdagangan seperti kuota adalah hal yang dapat dikatakan taboo pada perdagangan internasional. Untuk impor buah, tidak ada alasan yang signifikan untuk menerapkan kuota; terlebih pada buah sub tropis yang memang tidak secara massif diproduksi di dalam negeri. Hambatan kuota masih diterapkan, hanya dengan maksud untuk melindungi kepentingan nasional (komoditi strategis untuk kemandirian pangan). Harga buah di dalam negeri secara umum dapat dikatakan stabil hampir sepanjang tahun.

Bila terjadi pergerakan yang cukup volatile hanya pada saat tertentu dimana pasokan buah dari dalam negeri sedang tidak musim. Buah berbeda dengan bawang merah, bawang putih atau cabe. Saat harga apel mahal, konsumen segera dapat beralih misalnya ke jeruk atau buah lain. Jambu kristal tanpa biji yang sudah berkembang, pada awalnya diproduksi dengan adopsi bibit dari Taiwan, bukan untuk mensubstitusi jambu impor, tapi dimaksudkan sebagai pesaing apel impor yang keseluruhan buahnya bersifat edible.

Jadi menganalisis kebijakan impor buah tentu tidak dapat sama dengan impor jagung, gula atau sapi yang sering ditenggarai membuka jalan bagi pencari rente. Kebijakan impor pada kurun waktu terakhir sudah terus dibenahi, agar transparansi proses dan perizinan lebih berjalan.

UU Cipta Kerja sekiranya dapat memberikan jawaban atas PR ini. Tentu, lebih mendasar jawaban terhadap isu impor hortikultura atau pertanian adalah meningkatkan daya saing. Pakistan waktu akan meningkatkan eskpor buah mulai dengan penentuan prioritas dan pemetaan penerapan GAP melalui pertanian yang lebih presisi. (*)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas