Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menata Nalar Hukum, Mengkritisi Tudingan Gus Najih
Di dalam etika Islam umumnya dan tradisi Nahdliyin khususnya, menghormati ulama yang lebih sepuh adalah sebuah keniscayaan.
Editor: Husein Sanusi
Menata Nalar Hukum, Mengkritisi Tudingan Gus Najih
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi umat muslim terbesar di Indonesia. NU adalah milik bersama, bukan hanya milik orang-orang Jawa Tengah atau alumni Pondok Pesantren Sarang. Gus najih atau putra Mbah Maimun Zubair telah melampaui batas kewajaran dengan menyebut PBNU mewakili ideologi komunisme sebagaimana juga Perancis.
Di dalam etika Islam umumnya dan tradisi Nahdliyin khususnya, menghormati ulama yang lebih sepuh adalah sebuah keniscayaan. Namun, ketika Gus Najih dengan begitu ringannya menuduh Kiai Said Aqil Siradj yang notabene masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU diserang tanpa ada pertimbangan matang, publik menjadi gamang bagaimana seharusnya bersikap terhadap Gus Najih.
Dalam banyak kesempatan Gus Najih menyatakan sikap menolak terhadap Islam Nusantara, itu bukan masalah sebagai pandangan personal. Namun, ketika menyebut PBNU maupun Kyai Said mewakili ideologi komunis China, pernyataan tersebut secara tidak langsung menyerang undang-undang yang berlaku di negara ini.
Bukan hanya terkait undang-undang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, namun yang lebih penting dari itu adalah keraguan atas negara atau pemerintah dalam menerapkan undang-undang pelarangan ideologi komunisme, Leninisme dan Marxisme di Indonesia. Sebab jika memang benar PBNU adalah representasi komunis maka hal itu sama saja mengatakan bahwa pemerintah Indonesia melegalkan paham komunisme.
Ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Gus Najih semakin keterlaluan, dengan menyebut PSI juga bagian dari upaya kelompok komunis melakukan serangan terhadap umat Islam. Penulis tidak dalam rangka membela posisi PSI, namun untuk menegaskan bahwa pernyataan Gus najih berimplikasi pada komitmen Pemerintah Indonesia menjalankan undang-undang, salah satunya nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Dengan kata lain, jika memang PSI maupun PBNU adalah representasi dari paham komunisme, sementara pemerintah membiarkannya atau bahkan membolehkannya ikut serta dalam pemilihan umum maka sama saja UU 27/1999 di atas sudah tidak berlaku dalam praktek. Tuduhan Gus Najih adalah tantangan sekaligus potensi yang mengundang preseden buruk bagi citra penerapan hukum di tanah air kita.
Indonesia adalah negara hukum. Negara agama apalagi negara etika. Jika pemerintah berani menindak Sugik Nur Raharja dan menjebloskannya ke dalam penjara, disusul kemudian pemanggilan oleh polisi atas Refly Harun yang dinilai terlibat aktif dalam ujaran kebencian Sugik Nur, hal yang serupa harus diterapkan kepada Gus Najih.
Jika ditimbang bobot opini antara pandangan Sugik Nur dan Gus Najih, tentu dalam segala aspeknya lebih parah opini tidak berdasar dari tokoh Sarang ini. Sugi Nur hanya menyebut PBNU sebagai organisasi yang mirip dengan kendaraan umum, yang sedang disopiri oleh orang mabuk dan diisi oleh penumpang-penumpang yang mabuk. Sementara Gus najih jauh lebih parah dan tidak hanya menyerang figur pribadi Kiai Said dan organisasi PBNU melainkan lebar sampai ke partai politik seperti PSI.
Keadilan hukum dan citra penerapan hukum sedang menghadapi ujian. Penulis akui jika pihak kepolisian dan pemerintah akan merasakan beban psikologis maupun etis untuk bersikap adil terhadap satu tokoh sepuh yang memiliki basis massa ini. Namun harus dicatat, Indonesia bukan milik Islam semata, bukan milik warga Nahdliyin saja, apalagi hanya milik basis massa pendukung Gus Najih. Jika pemerintah tidak menerapkan hukum yang sama sebagaimana menimpa refly Harun dan Sugik Nur, maka masa depan citra penerapan hukum di Indonesia terancam hancur.
Poin utama yang ingin penulis sampaikan di sini adalah pemerintah bukan hukum Indonesia tidak pernah melegalkan paham komunisme. Sehingga mustahil ada organisasi sosial kemasyarakatan maupun politis seperti PBNU dan PSI yang menganut paham komunisme. Sejak diberlakukannya undang-undang pelarangan terhadap komunisme maka sejak itu pula komunisme selamanya akan terkubur di bumi Nusantara.
Untuk itulah, di masa-masa yang akan datang tuduhan dari siapapun bahwa ada ormas yang legal diakui oleh pemerintah namun mengusung komunisme maka pandangan demikian tidak dapat dibenarkan, termasuk sekalipun diucapkan oleh tokoh karismatik seperti Gus Najih. Nalar berpikir semacam ini perlu dipegang teguh supaya para penegak hukum tidak terhambat oleh nalar etis dalam rangka menjebloskan Gus Najih ke persidangan atau bahkan ke dalam penjara.
Jika tidak ada ucapan permohonan maaf dari Gus Najih atau pemeriksaan oleh pihak polisi kepada beliau, maka sudah tamatlah upaya kita untuk melawan asumsi publik bahwa hukum memang tajam kebawah dan tumpul ke atas. Dalam konteks penegakan hukum, tidak ada perbedaan kelas sosial dan kelas etika antara Sugik Nur, Refly Harun, maupun Gus Najih. Di mata hukum, kita semua sama.*
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.