Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jejak Kobra, Macan Tutul, hingga Pelahlar
Rigid Inflatable Boat (RIB) Kopassus melaju cepat, membelah Segara Anakan, Cilacap – Jawa Tengah, Jumat (4/12/2020).
Editor: Malvyandie Haryadi
Di Lembata dan Lumajang, Doni meninjau langsung kondisi masyarakat pasca letusan gunung berapi Ili Lewotolok (Lembata) dan Semeru (Lumajang). Sedangkan di Malang, Doni melihat persiapan Politeknik Kesehatan Malang (Poltekes) yang akan dijadikan rumah sakit lapangan penanganan pasien Covid-19.
Dari Malang menuju Cilacap, Doni melewati jalan darat. Tiba pagi hari, istirahat sekitar dua jam, langsung menuju Cagar Alam Nusakambangan Barat, Pulau Nusakambangan.
Untuk apa Doni blusukan masuk hutan antah-berantah ini? Demi pohon. Pohon istimewa yang disebut pelahlar (Dipterocarpus littoralis). Bahasa umumnya meranti Jawa. Pohon ini bisa tumbuh maksimal dengan diameter 1,5 meter dan ketinggian lebih dari 100 meter.
Sebuah pohon yang istimewa, dan termasuk pohon endemik Nusakambangan. “Tidak ada di daerah lain. Ada banyak pohon meranti gunung, tetapi jenisnya berbeda,” ujar petugas BKSDA Jateng yang mendampingi Doni Monardo di tengah hutan.
Baca juga: Doni Monardo: Covid-19 Sangat Berbahaya Bagi Lansia
Di Cagar Alam Nusakambangan Barat, jumlah “pohon langka” itu berbilang ratusan. Doni berpesan agar dijaga dengan baik.
Bahkan perlu dipikirkan bagaimana membudidayakannya untuk bisa ditanam di wilayah pesisir pulau Jawa, utamanya di wilayah Cilacap – Kebumen – Yogyakarta.
Sebab, tiga daerah selatan Jawa ini senantiasa berada dalam bayang-bayang tsunami manakala terjadi gempa bumi skala besar di dasar laut.
Seperti halnya di Cilacap. Saat gempa besar di lepas pantai Pangandaran dan mengakibatkan tsunami, hutan Nusakambangan adalah “penyelamat” Cilacap. Jika tidak ada Pulau Nusakambangan, bisa dipastikan, kota berpenduduk sekitar dua juta jiwa itu bakal terdampak.
Sebaliknya di selatan Kebumen, tepatnya di wilayah Suwuk dan Karangbolong. Pesisirnya porak poranda. Objek wisata Pantai Suwuk lengkap dengan ikon body pesawat bekas yang disulap menjadi resto dan gedung bioskop, rusak parah.
“Tapi kalau arah tsunami dari sisi timur yang terbuka, saya pastikan Cilacap belum aman. Karenanya, gerakan ‘green belt’ harus kita lakukan,” ujar Doni.
Kegiatan Doni Monardo di Cilacap, paralel dengan karakter bencana yang sifatnya berulang. Sebelum kunjungan ini, Doni juga sudah mendatangi berbagai daerah yang berpotensi bencana. Seperti di NTT, NTB, Aceh, Sumatera Barat, Sentani, Papua bahkan Sangihe.
Bencana alam sifatnya berulang. Sering dikatakan Doni, perang itu masih mungkin terjadi, tetapi yang namanya bencana pasti terjadi. Persoalan kapan terjadi, hanya Tuhan yang tahu. Tugas manusia adalah waspada, terlebih mengingat Indonesia terletak di daerah yang rawan bencana.
Doni teringat pertemuannya dengan peneliti gempa dan tsunami dari Brigham Young University, Amerika Serikat Profesor Ron Harris di kantor BNPB pada tahun 2019. Jauh sebelum terjadi tsunami Aceh 2004, Profesor Ron sudah melakukan penelitian di sana.
Pasca terjadi tsunami, berkali-kali Profesor Ron menyatakan penyesalannya. Katanya, kalau saja ia punya waktu dan menyempatkan diri menjumpai masyarakat Aceh dan Sumatera: memasyarakatkan hasil penelitiannya, niscaya korban tsunami Aceh 2004 tidak akan sebesar itu.