Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mental Korup dan Revolusi Mental
Praktik korupsi sudah jauh lebih lama terjadi, hingga dalam kaitan normatif struktural di sebuah negara, dibutuhkan berbagai peraturan mencegahnya.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Meski terjadi perubahan struktural di era reformasi, namun tidak terjadi transformasi sosial di tingkat masyarakat.
Perilaku otoritarian di masa Orde Baru memiliki kontribusi yang besar dalam menghilangkan sikap kritis masyarakat. Pemilu dalam berbagai tingkatan, tidak dipahami sebagai medium kontrak politik dan sosial antara rakyat dengan calon pemimpin dan atau wakil-wakilnya.
Kenyataannya yang terjadi bentuk klientilisme yang mentransaksikan suara rakyat. Hal inilah yang membuat kontestasi politik menjadi berbiaya tinggi.
Merebut suara rakyat dalam jumlah yang besar dan berskala luas membutuhkan kapital yang besar pula. Menyebut korupsi sebagai masalah mental, dapat berakibat pada penyederhanaan korupsi sebagai tindakan personal.
Sementara, realitas sistem yang dikonstruksi dengan berbagai praktik yang korup, dapat membuat jebakan bagi siapa pun untuk melakukannya.
Secara personal, orang dapat saja tumbuh di lingkungan yang baik dengan etika dan moral yang juga baik secara sosial.
Juliari Batubara, jika dilihat dari latar belakang kehidupannya, memperoleh pendidikan dasar hingga tinggi di sekolah-sekolah bergengsi, di dalam maupun luar negeri.
Dapat dipastikan dia berasal dari keluarga terdidik dan berada. Bekal itulah yang membuat dia masuk ke dunia politik, bukan dipungut dari selokan, seperti baru-baru ini dikatakan petinggi Partai Gerindra, saat menyinggung kadernya juga seorang menteri yang melakukan praktik korupsi.
Personifikasi kasus korupsi, sementara dia berada dalam satu bangunan besar sistem yang korup, pada kenyataanya tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
Cara terbaik untuk memberantas korupsi adalah dengan mendidik rakyat untuk memiliki pengetahuan dan sikap kritis. Dengan bekal tersebut, rakyat akan memilih pemimpin yang tepat sesuai dengan harapannya.
Namun, upaya itu membutuhkan good will dan juga political will dari partai-partai politik dan pemerintah.
Pertanyaanya, apakah mungkin itu dilakukan, sementara pragmatisme kekuasaan masih bertujuan pada kekuasaan itu sendiri.
Jargon “revolusi mental” akan mental (terpelanting) menghadapi tabiat dari kekuasaan ini. Ketika kekuasaan diperoleh, maka korupsi menjadi bagian dari eksistensinya, Corruptio Ergo Sum.(*)