Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

Mental Korup dan Revolusi Mental

Praktik korupsi sudah jauh lebih lama terjadi, hingga dalam kaitan normatif struktural di sebuah negara, dibutuhkan berbagai peraturan mencegahnya.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Mental Korup dan Revolusi Mental
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ketua KPK Firli Bahuri memberikan keterangan kepada wartawan saat konferensi pers penetapan tersangka Menteri Sosial Juliari P Batubara di gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020). KPK resmi menahan Juliari P Batubara atas dugaan menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan COVID-19 di Kementerian Sosial usai Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Kemensos. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Di tahun awal 60-an, Bung Hatta yang sudah mengundurkan diri sebagai wakil presiden kala itu, mengkhawatirkan korupsi menjadi budaya karena melihat maraknya fenomena praktik tersebut. Namun praktik rusuah itu tidak berhenti dengan pergantian rezim.

Soeharto yang mendapatkan kekuasaan setelah ditolaknya pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas peristiwa Gerakan 30 September, menjelang Pemilu 1971, menyampaikan pidato tentang komitmennya memberantas korupsi. 

Korupsi dianggapnya tidak hanya merugikan negara, tetapi juga membahayakan pembangunan dan bertentangan dengan moral.

Untuk itu dia menyatakan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi dan akan bertindak tegas.  “Saya tidak memberi angin kepada koruptor. Korupsi memang masih ada dan harus diberantas. Siapa pun, tidak pandang bulu,” kata Presiden Soeharto (16 Agustus 1970)

Sebelumnya, di tahun yang sama  juga Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang disebut Komisi 4.

Sedianya Bung Hatta yang diminta untuk mengetuainya, namun karena masalah kesehatan digantikan oleh Wilopo, mantan Perdana Menteri Indonesia.

Tim yang beranggotakan I.J Kasimo, Prof. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto itu, bertugas mengevaluasi dan memberi rekomendasi ke pada pemerintah tentang praktik korupsi di lembaga-lembaga negara.

BERITA TERKAIT

Sayangnya temuan dan rekomendasi Tim 4 tersebut tidak ditindaklanjuti. Setahun kemudian, Soeharto semakin memperkuat legitimasi kekuasaan setelah Golkar memperoleh suara mutlak di Pemilu 1971 dan mengantarkannya menjadi Presiden.

Sejak itu tidak ada yang mampu mengontrol kekuasaan Presiden Soeharto hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.  

Apa yang ditakutkan oleh Bung Hatta menjadi kenyataan, korupsi tumbuh menjadi budaya. Namun,  korupsi akhirnya juga menjadi salah satu isu utama yang menggusur Presiden Soeharto dari kekuasaan.

Mengapa di era reformasi praktik korupsi masih terjadi? Jika merujuk bahwa korupsi sangat mungkin dilakukan oleh orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik, maka perlu dipahami bagaimana kekuasaan itu diperoleh.

Di era reformasi yang bertujuan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, pada kenyataanya hanya berbentuk simbolik belaka.

Kekuasaan memang diperoleh melalui kontestasi politik yang memenuhi prosedur demokrasi. Namun, budaya korup di masa lalu telah menghasilkan sekelompok orang-orang kaya yang tetap ingin mempertahankan kekayaannya.

Atas dasar itulah mereka butuh kekuasaan politik yang dapat melindungi dan menambah kekayaannya.  Perkembangan saat ini, perlindungan saja dirasakan tidak cukup, mereka bahkan masuk ke dalam entitas kelompok politik,  baik yang sudah ada atau diciptakannya sendiri.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas