Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Berharap Kemenag Revisi Regulasi, Jangan Persulit Beasiswa ke Al Azhar Mesir!
Kemenag seharusnya melakukan revisi yang merugikan publik dalam hal beasiswa bagi calon pelajar yang akan belajar ke Al Azhar Mesir.
Editor: Husein Sanusi
Berharap Kemenag Revisi Regulasi, Jangan Persulit Beasiswa ke Al Azhar Mesir
H. Jamil Abdul Latief, Lc. M.E*
TRIBUNNEWS.COM - Islam di Nusantara masyhur sebagai Islam Wasathiyah, Moderat. Membangun citra Islam yang penuh cinta kasih dan perdamaian tidak lepas dari peran alumni pendidikan Al-Azhar, Mesir. Kontribusi Al-Azhar sendiri untuk menyebarkan paham Wasathiyah telah lama dikenal di seantero negeri. Karenanya, tidak ada alasan bagi pemerintah Indonesia menjadi batu sandungan bagi calon mahasiswa yang ingin belajar ke al-Azhar.
Tahun 2020 diakui sebagai tahun yang berat. Di tengah pandemi Covid-19, Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan pengumuman yang memberikan pukulan telak. Seleksi calon mahasiswa Al-Azhar dari Indonesia ditiadakan sampai pergantian tahun 2021, baik untuk jalur beasiswa maupun mandiri. Sementara Kemenag satu-satunya otoritas yang berwenang mengeluarkan rekomendasi.
KH. Imam Jazuli cukup kritis mengomentari regulasi Kemenag yang 'merugikan' itu, seperti dalam tulisannya "Berharap Gus Yaqut, Perbaiki Carut-Marut Kemenag dan Menghentikan Regenerasi Kader Radikalis," (TribunNews, 17/1/2020). Secara umum, menurutnya, ada kebijakan politis yang kurang matang disahkan oleh mantan menteri agama sebelumnya, dimulai sejak Surya Darma Ali hingga eta Fachrul Razi. Sarannya, regulasi merugikan itu harus dievaluasi pada masa-masa mendatang.
Setidaknya ada tiga alasan penulis bersepakat dengan ide tersebut. Pertama, regulasi yang Menag Fachrul Razi kala itu dibuat oleh orang yang kurang berkapasitas. Backgroundnya yang militer membuatnya tidak mengerti situasi konkrit di lapangan, lebih-lebih di Al-Azhar, Mesir. Menunda proses seleksi sampai waktu tidak ditentukan dengan alasan pandemi adalah keputusan yang tidak bijak. Seleksi adalah persoalan teknis, dan karenya masih mungkin diselenggarakan secara daring, online. Penulis berharap, semoga alasan mendasarnya bukan karena manajemen dan SDM Kemenag tidak siap menyelenggarakan seleksi online.
Kedua, penulis sepakat dengan KH. Imam Jazuli bila mengendus adanya aroma ketidakberesan dalam regulasi Kemenag, khususnya pengetatan syarat kelulusan. Kefasihan berbicara dalam bahasa Arab dan kecakapan menghafal ayat dan surat al-Quran bukan ranah strategis Kemenag. It’s okey dalam konteks seleksi jalur beasiswa, tetapi problematik dalam konteks jalur mandiri.
Perkembangan mutakhir perlu diinformasikan bahwa Al-Azhar Asy-Syarif telah menyelenggarakan program pendidikan bahasa Arab dan al-Quran. Salah satunya dikenal sebagai Daurah Ta'lim al-Lughah al-Arabiah li Ghair al-Nathiqin Biha sejak awal 2019. Program ini memberikan bekal persiapan dan skill berbahasa Arab bagi mahasiswa dari non-Arab. Program ini dijalankan bersama oleh Madinah al-Bu'uts al-Islamiah, al-Idarah al-Markaziah li Syu-un al-Thullab al-Wafidin, dan Majma al-Buhuts al-Islamiah.
Selain program bahasa Arab, Madinah al-Bu'utsh al-Islamiah juga bekerjasama dengan Markaz Tathwir Ta'lim al-Thullab al-Wafidin dalam menjalankan program Daurah I'dad Mu'allimil Qur'an al-Karim li Ghairi al-Nathiqin bi al-Lughah al-Arabiah. Program ini mengarahkan para pelajar dan pengajar al-Quran agar mampu memahami cara menghafal dan cara menjelaskan ayat-ayat al-Quran.
Dengan kata lain, tanggung jawab dalam persiapan bahasa Arab dan hafalan al-Quran telah diambil alih oleh Al-Azhar, dan bukan ranah Kemenag, terlebih dalam konteks jalur mandiri. Siapapun berhak belajar di Al-Azhar, sebab Al-Azhar sendiri memberi solusi untuk seleksi dan persiapan. Perkembangan mutakhir di Al-Azhar inilah yang menjadi alasan ketiga penulis bersepakat dengan gagasan KH. Imam Jazuli tentang pembukaan peluang seluas-luasnya dan penambahan jumlah sebanyak-banyaknya kuota jalur mandiri bagi calon mahsiswa al-Azhar dari Indonesia. Kecuali jika kemenag memiliki misi untuk menghambat pendidikan Islam, sungguh sangat disayangkan jika kemenag menghambat siswa yang akan studi ke al-Azhar dengan biaya Mandiri, kemenag mestinya membantu syiar islam, bukan malah menghambat dan penghalangi. Kalau kemenag selama ini tidak mampu memberi beasiswa publik tidak keberatan, tapi jangan pula menghalang yang biaya mandiri.
Otoritas politis Kemenag tidak boleh digunakan untuk membatas-batasi kuota jalur mandiri ini. Sebab, Al-Azhar Asy-Syarif secara ideologi mengusung Wasathiyah dan sistem pendidikannya juga telah menyiapkan program persiapan bahasa Arab. Selain itu, ada aspek untung-rugi yang harus kembali kita renungkan bersama-sama, jika Kemenag ngotot ingin mempertahankan regulasi lama, yakni memperketat hafalan al-Quran dan kefasihan berbahasa Arab.
Regulasi lama ini adalah alasan tidak langsung banyaknya alumni al-Azhar dari Indonesia yang membawa paham Islam garis keras dan tidak lagi moderat, wasathiyah. Sementara itu, regulasi lama ini secara langsung membatasi peluang bagi para santri dari pesantren-pesantren salafiah seperti Nahdlatul Ulama untuk berkesempatan melanjutkan pendidikan ke Al-Azhar. Karena hafalan al-Quran dan fasih berbahasa Arab adalah sub pendidikan, program khusus, bukan program utamanya.
Tradisi pesantren-pesantren salafiah lebih menekankan pada penguasaan khazanah keislaman, studi keislaman, turats klasik yang lintas disiplin, mulai dari ilmu alat (Nahwu, Sharraf, Balaghah) hingga disiplin fikih, ushul fikih, tafsir, ulumut tafsir, hadits, ulumul hadits, bahkan tarikh. Tradisi pesantren-pesantren salafiah adalah miniatur perguruan tinggi islam di Indonesia. Jika regulasi Kemenag hanya menekankan pada hafalan al-Quran dan kefasihan bahasa Arab, maka ini sangat merugikan para santri yang menjaga NKRI.
Belakangan ini, jujur penulis ingin katakan, banyak sekali alumni Al-Azhar di Indonesia yang tidak lagi mengusung Islam Wasathiyah. Tetapi pada saat bersamaan, penulis saksikan banyak sekali santri yang hanya lulusan pondok-pondok kecil di kampung-kampung, mereka mengusung spirit Islam Rahmatan lil alamin seperti yang diwacanakan oleh Grand Syeikh AL-Azhar sendiri. Internal Kemenag dapat membaca itu lewat polarisasi yang terjadi di lingkungan Azhariyyin, alumni al-Azhar. Sebagian berbau radikal efek dari regulasi kemenag selama ini, namun sebagian istiqomah di jalur Al-Azhar,
Betul apa yang disampaikan KH.Imam Jazuli, Jika Gus Yaqut dan Dirjen M Ali Ramdhani tidak memiliki keberanian mengubah regulasi kemenag tersebut, publik tidak perlu lagi berharap banyak, dan jika itu terjadi walaupun keduanya representasi "nahdiyyin milenial" tapi sesungguhnya tidak memihak umat Islam pada umumnya dan nahdiyyin pada khususnya, namun demikian penulis berhusnudzan, melihat rekan jejan keduanya, ada secercah harapan untuk perubahan lebih baik di kemenag. Mari kita tunggu saja !
Wallahu'alam bishawab.
* H. Jamil Abdul Latief, Lc., M.E.
(Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Mesir 2012 - 2013, Ketua Diaspora Indonesia di Mesir 2013 - 2014, Ketua Ikatan Alumni Al-Azhar Mesir Wilayah III Cirebon tahun 2016 - Sekarang)