Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Presiden Jokowi, Komjen Listyo Sigit dan Konsistensi Negara Pancasila
"Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, prinsip musyawarah dan keadilan adalah intisari ajaran Islam," kata Grand Sheikh al-Azhar.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Karyono Wibowo, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institue (IPI)
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Nama Komjen Listyo Sigit Prabowo mendadak menjadi sorotan publik. Namanya semakin ramai diperbincangkan saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan mantan ajudannya ini sebagai calon tunggal kapolri untuk menggantikan Jenderal Idham Azis yang akan memasuki masa pensiun.
Keputusan Presiden Jokowi menunjuk Listyo Sigit Prabowo menjadi calon tunggal kapolri mendapat respon yang beragam. Banyak yang merespon positif, tetapi ada sejumlah pihak yang mempersoalkan. Walau demikian, perbedaan pendapat dalam sistem pemerintahan demokrasi merupakan hal yang lumrah.
Dalam catatan saya, ada beberapa hal yang menjadi polemik terkait pengangkatan Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai kapolri.
Baca juga: 27 Januari Komjen Listyo Sigit Prabowo akan Dilantik Menjadi Kapolri
Pertama masalah senioritas angkatan. Kedua faktor kedekatan (Sigit pernah menjadi kapolres Surakarta saat Jokowi menjadi wali kota, kemudian menjadi ajudan Presiden Jokowi di awal pemerintahan periode pertama). Dan ketiga, masalah agama (ini yang paling kontroversial karena Sigit beragama non muslim, bukan berasal dari agama mayoritas).
Baca juga: Alasan WHO Nobatkan Madinah Sebagai Kota Tersehat Dunia
Dari tiga isu yang memicu polemik itu kemudian menimbulkan pertanyaan, salahkah presiden mengangkat Sigit menjadi kapolri? Tentu saja tidak salah. Alasannya, secara normatif dan prosedur, pengangkatan Komjen Listyo Sigit Prabowo sudah sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Perppres No.17 Tahun 2011 Tentang Komisi Kepolisian Nasional.
Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berdasarkan konstitusi, kewenangan mengangkat dan memberhentikan Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden sebagai bagian dari sistem presidensial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yaitu presiden memegang kekuasaan atas pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar (UUD).
Dalam UU Kepolisian Negara tidak diatur tentang senioritas berdasarkan angkatan di kepolisian. Pasal 11 ayat (6) UU No.2 Tahun 2002 hanya menyebutkan calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier. Sigit adalah perwira tinggi kepolisian yang masih aktif.
Dari jenjang kepangkatan, Sigit merupakan perwira tinggi polri berpangkat komisaris jenderal bintang tiga. Dari segi karir, Komjen Listyo Sigit pernah menjabat kapolres di sejumlah tempat dan pernah menjadi Kapolda Banten, Kadiv Propam dan Kabareskrim Mabes Polri.
Baca juga: Megawati Diprediksi Tak Maju Pilpres 2024, Sementara JK Terkendala Dukungan Parpol
Dari segi prestasi, Sigit memiliki sejumlah prestasi, antara lain telah berhasil menangkap kuroptor kelas kakap Djoko Tjandra di Malaysia yang menjadi buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, mengungkap kasus kebakaran gedung Kejaksaan Agung, membongkar sejumlah kasus penyelundupan narkoba, berhasil menangani 485 perkara korupsi hingga menindak tegas pentolan FPI Muhammad Rizieq Shihab beserta jajarannya.
Dengan rekam jejak tersebut, maka pengangkatan Komjen Listyo Sigit memenuhi persyaratan sebagai Kapolri.
Baca juga: Strain Covid-19 Inggris Diklaim Sebabkan Lebih Banyak Kerusakan, Termasuk Kematian
Soal kedekatan antara Presiden dengan calon Kapolri tentu tidak menjadi hambatan asalkan memenuhi persyaratan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Alasan memilih seseorang karena faktor kedekatan tidak selalu bermakna buruk. Kedekatan seseorang berkelindan dengan masalah kepercayaan (trust). Sehingga, sangat manusiawi dan lazim jika presiden memilih Kapolri yang memiliki kedekatan.
UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara juga tidak mengatur tentang latar belakang agama calon Kapolri. Dengan demikian, mempertentangkan latar belakang agama calon kapolri jelas tidak berdasar dan bertentangan dengan undang-undang. Lebih dari itu, mengingkari dasar negara Pancasila.
Namun, di balik keberanian Presiden Jokowi menunjuk Kapolri non muslim di tengah situasi sensitif yang ditandai menguatnya politik identitas seolah hendak menguji ketangguhan nasionalisme dan solidaritas kebangsaan kita. Di balik ini, seakan presiden ingin meneguhkan kembali bahwa Indonesia bukan negara berdasarkan satu agama tetapi negara yang ber-