Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jilbab dalam Narasi Otoriter Rezim Nadiem Makarim
Nadiem Makarim tak ragu-ragu telah menunjukkan karakteristik dasarnya berkali-kali yang otoriter.
Editor: Husein Sanusi
Jilbab dalam Narasi Otoriter Rezim Nadiem Makarim.
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ini kita dikejutkan oleh pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim terkait dengan peraturan wajib jilbab di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat. “Saya meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan,” ungkap dia beberapa waktu lalu.
Pernyataannya itu terkait penggunaan wajib jilbab untuk siswi SMKN 2 Padang, yang sudah berjalan sejak 2005 dinilai oleh Nadiem tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan Kbinekaan bangsa Indonesia. Akan tetapi benarkah demikian?
Menurut hemat penulis, Mendikbud bukan saja tidak paham konteks yang kasuistik ini, melainkan visi universal Kemendikbud sejak awal memang sudah tidak jelas alias abu-abu. Sementara disatu sisi, Rusmadi, Kepala Sekolah (Kepsek) SMKN 2 Padang, mengatakan bahwa peraturan di lembaganya sudah merujuk pada instruksi Walikota Padang No. 451.442/BINSOS-iii/2005.
Rusmadi menambahkan, pihaknya membuka pintu bagi orangtua siswi non-muslim untuk berkomunikasi dan non-muslim tidak diwajibkan menggunakan jilbab. Hal itu sudah disampaikan sejak awal (Kompas, 29/1/2021). Malangnya, Rusmadi tidak sedang berhadapan dengan Mendikbud yang paham substansi persoalan di lapangan.
Dengan begitu apa sesungguhnya yang menjadi keberatan brutal Nadiem? Apalagi peraturan ini secara universal mendapat dukungan moril dari Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2), Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Karena bukankah menuntut ilmu (sekolah) dengan keadaan berjilbab adalah bagian dari implementasi kepercayaan dan ibadat? Toh, yang tak sesuai dengan kepercayaannya (non muslim) masih diberi kelonggaran.
Namun bukan itu masalahnya. Tetapi hal lain adalah, Nadiem Makarim tak ragu-ragu telah menunjukkan karakteristik dasarnya berkali-kali yang otoriter. Menurutnya, Kemendikbud akan memberikan sanksi yang tegas, bahkan berupa pembebasan jabatan (pemepecatan). Narasi ini menurutnya demi menegakkan undang-undang, Pancasila, dan kebinekaan.
Tanpa menyebut undang-undang yang dimaksudkan itu, Nadiem Makarim telah melanggar undang-undang itu sendiri. Perda Syariah adalah bagian dari karakteristik kebangsaan kita dalam menjalankan negara. Dihasilkan oleh pemerintah daerah dan DPRD mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
Opini pemerhati kebudayaan dari Vox Populi Indonesia, Indra Charismiadji, memang benar ketika melihat Nadiem Makarim menyampaikan gagasannya dengan gaya yang tidak searah dan tidak bijak. Menurutnya, Mendikbud melontarkan pendapat tanpa melihat detail persoalan, apakah masalahnya memang peraturan sekolah, atau peraturan pemerintah daerah.
Penulis sendiri memandang, Nadiem Makarim harus kembali ke lingkungan asalnya, yakni Bos Gojek. Negara bukan perusahaan, yang perlu dipimpin dengan seorang otoriter, apalagi Kemendikbud sebagai simbol dari keluhuran budi pekerti dan ketajaman alam pikir. Kasus kecil seperti di SMKN 2 Padang, yang belum jelas duduk persoalannya, dipandang Nadiem Makarim sebagai pelanggaran terhadap terhadap Undang-undang, Pancasila, dan Kebhinekaan. Sungguh sangat tidak bijaksana.
Penghargaan terhadap kebhinekaan semestinya diwujudkan berupa penghargaan terhadap keragaman melahirkan produk peraturan daerah (Perda Syariah), dan keragaman implementasinya. Narasi dan gaya komunikasi yang dibangun Nadiem Makarim mencerminkan alam pikir manusia otoriter. Mengadu-domba antara Perda dan Peraturan Sekolah dengan konsep universal kebangsaan. Otoritarianisme itu dipertegas dengan ancaman pemecatan.
Gaya komunikasi Nadiem memperumit keadaan, membuat dilematis orang-orang non-muslim untuk belajar di lembaga sekolah muslim. Setiap sekolah yang ingin menerapkan keyakinan mereka dalam peraturan diposisikan sebagai pemaksaan. Kemudian lembaga sekolah dilarang menerapkan aturannya pada siswa-siswi yang beda keyakinan. Narasi komunikasi Mendikbud semacam ini menjurus pada Islamophobia.
Dalam konteks otonomi daerah dan keabsahan melahirkan produk Perda Syariah, narasi Nadime Makarim merusak keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara. Hal itu terlihat opini Nadiem Makarim memberikan daya dorong bagi aktivis Komunitas Pembela HAM Sumatera Barat, Wendra Rona Putra, yang mulai mengkritin instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-III/2005. Produk politik ini diolah dan dibenturkan dengan UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan hak beragama bagi setiap orang.
Gaya komunikasi dan narasi kontens pendapatnya memang tidak diarahkan untuk menciptakan keharmonisan. Membuat semua pihak salah mengartikan tentang substansi UUD 1945, Pancasila, Kebhinekaan, bahkan Otonomi Daerah dan Perda Syariah. Semua variabel ini tidak bertentangan satu sama lain, karena berada dalam bingkai produk politik warga negara yang merdeka. Pada saat aktivis HAM melihat isntruksi Wali Kota itu bertentangan dengan UUD, boleh jadi elite politik Padang melihatnya sudah sesuai.
Penulis melihat, hal yang paling substansial bukan masalah kasus spesifik di SMKN 2 Padang. Hal itu bisa diselesaikan oleh pihak-pihak internal mereka, dalam konteks dinamika politik mereka, serta spirit kultural mereka sendiri. Namun, sumber masalah yang paling utama adalah visi maupun tata kelola Kemendikbud yang bermasalah di tangan Nadiem Makarim.
Politisi senior, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB), Abdul Muhaimin Iskandar, telah meminta Mendikbud Nadiem Makarim diganti. Saat itu konteksnya adalah krisis pendidikan sepanjang periode pandemi yang tidak tertangani dengan baik. Sementara kali ini, banyak pemerhati pendidikan melihat masalah lain yang ditimbulkan Nadiem Makarim dalam konteks jilbab SMKN 2 Padang.
Sambung menyambung silih berganti masalah demi masalah dimunculkan oleh Nadiem Makarim. Masalah bukan saja menyangkut krisis pendidikan di masa pandemi, jilbab di SMKN 2 Padang, tetapi lebih pada substansi dunia pendidikan yang tidak dimengerti betul oleh pemegang otoritas Kemendikbud. Tidak adanya visi yang holistik ini membuka pintu baru kemunculan masalah-masalah lain di masa depan.
Hal penting dilakukan Nadiem Makarim di masa depan adalah menjauhi narasi yang otoriter, memilih diksi yang bijaksana, dan mengeluarkan pendapat dengan cara yang lebih argumentatif, tidak untuk menyudutkan pihak tertentu, dan menghargai keragaman substantif itu sendiri. Menilai peristiwa di SMKN 2 Padang sebagai pelanggaran terhadap UUD, Pancasila, dan Kebhinekaan, adalah opini yang menyesatkan dan tidak bijaksana.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.