Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Nadiem Rajin Ngurusi Seragam Sekolah, Tetapi Nol Visi Pendidikan
Hemat penulis, sejak Nadiem Makarim terjun terlalu jauh mengurusi urusan seragam ini, mulai dari soal SMKN 2 Padang hingga SKB 3 Menteri.
Editor: Husein Sanusi
*Nadiem Rajin Ngurusi Seragam Sekolah, Tetapi Nol Visi Pendidikan (?)*
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., m.A*
TRIBUNNEWS.COM - Buntut persoalan jilbab di SMKN 2 Padang berlanjut, setelah sebelumnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hanya memberikan komentar via video singkat. Nadiem Makarim, Mendikbud, serasa tidak puas dengan komentar sederhana tanpa menindaklanjuti dengan peraturan.
Sekarang persoalan itu pun berlanjut menjadi Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
SKB 3 Menteri menjadi amunisi bagi Nadiem Makarim. Ia mengatakan, pelanggaran terhadap keputusan bersama ini akan berhadapan dengan sanksi, yang akan diberikan secara berjenjang, mulai dari kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) hingga praktisi pendidikan (lembaga sekolah, kepala sekolah, tenaga pendidik).
Ancaman Kemendikbud menjurus pada soal bantuan, terkait penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan dana bantuan lain (Kompas, 4 Februari 2021). Artinya, sumber penghasilan sekolah dari pemerintah terancam punah. Karenanya, sekolah negeri wajib taat aturan dengan cara tidak mewajibkan atau melarang seragam beratribut agama. Itu syarat mutlak dari Kemendikbud agar dana BOS dan dana bantuan lain bisa lancar mengalir.
Publik meraung. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas mengkritik Surat SKB 3 Menteri tersebut. Menurutnya, berdasarkan Pasal 29 ayat 1 UUD '45 Indonesia harus menjadi negara religius, bukan sekuler. Karenanya, Pemerintah maupun sekolah harus mewajibkan siswa/i mereka untuk mengenakan sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan masing-masing.
Keresahan hati representasi MUI, Anwar Abbas, tentang sekularisasi cukup beralasan. Buktinya, Denny Siregar (Pegiat Media Sosial) mengatakan bahwa dengan adanya SKB 3 Menteri maka Perda-perda Syariat yang berlaku di sekolah-sekolah negeri berguguran. Ia sampaikan di akun Twitternya @Dennysiregar7, Rabu, 3 Februari 2021.
Hemat penulis, sejak Nadiem Makarim terjun terlalu jauh mengurusi urusan seragam ini, mulai dari soal SMKN 2 Padang hingga SKB 3 Menteri, persoalan bukan tambah adem-anyem melainkan tambah memanas dan publik terpolarisasi. Sebagian kubu melihat SKB 3 Menteri sebagai upaya sekularisasi, dan sebagian kubu bersyukur karena Perda Syariah dapat dibabat habis sampai ke akar-akarnya.
Perlawanan terhadap Perda Syariah bukan wilayah kerja otoritas pusat melainkan dinamika internal daerah. Penolakan terhadap Perda Syariah hanya absah dilakukan oleh mekanisme politik daerah. Sebaliknya, Otoritas Pusat yang terlalu jauh mengatur dan ikut campur urusan daerah bertentangan dengan semangat otonomi daerah itu sendiri.
Nadiem Makarim tampaknya "menjebak" Kemenag untuk ikut proyek penguatan otoritas Kemendikbud agar bisa mengontrol semakin jauh ke tingkatan daerah. Dengan logika bahwa Kemendikbud berjasa besar menggelontorkan dana BOS dan bantuan lainnya, Nadiem berpikir absah bila dirinya menjatuhkan sanksi kepada daerah. Apakah Nadiem lupa bahwa sumber pemasukan Pusat berasal dari Daerah?
Persoalan kebangsaan yang belum selesai adalah hubungan pusat dan daerah. Bahkan otonomi daerah diwacanakan adalah bertujuan "menyehatkan" hubungan pusat-daerah. Makna otonomi bukan saja menyangkut kebijakan politik dan ekonomi, tetapi juga persoalan hukum. Apalagi produk hukum adalah ciptaan politik. Perda Syariah adalah produk dinamika politik lokal.
Hemat penulis, SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam Sekolah dan Ancaman "Menghambat" aliran dana BOS maupun bantuan-bantuan lain, tidak sejalan dengan spirit desentralisasi. Dengan SKB ini, spirit sentralisasi kekuasaan akan kembali menguat. Hal ini baru satu kasus. Di masa-masa yang akan datang, cukup terbuka terjadi peraturan dan perundangan lain yang Pusat terbitkan untuk memberangus produk-produk politik dan hukum di tingkat daerah. Sehingga Daerah (provinsi hingga kabupaten) tidak berkutik, atau akan terkena sanksi.
Bagi penulis, syariatisasi melalui Perda Syariah ataupun sekularisasi melalui hukum sekular bukan perkara penting dan substansial. Lebih dari itu, hubungan Pusat dan Daerah harus sehat. Pusat harus bertindak di luar ranah dan wewenang Daerah. Jika Pusat dan Daerah berebut ranah yang sama maka yang terjadi adalah seperti perbuatan Nadiem Makarim yang mengajak Kemenag dan Kemendagri untuk berpolemik.
Publik akan terus dihantui oleh pertanyaan, apakah memaksakan seragam sekolah beratribut agama tertentu adalah implementasi terhadap nilai-nilai Pancasila, UUD '45, NKRI ataukah bentuk pelanggaran? Lebih jauh, apakah Perda Syariat bertentangan dengan Pancasila, UUD '45, NKRI? Jawaban akan terus beragam. Masyarakat akan terpolarisasi. Sebab, sesuatu yang sudah jadi ranah daerah dicampuri oleh otoritas Pusat.
Rajinnya Nadiem Makarim menciptakan polemik tidak diimbangi penyampaian visi besar pendidikan di bawah rezimnya. Menurut Muhaimin Iskandar, Ketum PKB, mengatakan selama krisis pandemi Covid-19 Menteri Pendidikan yang sebelumnya diharapkan berkontribusi melalui teknologi yang dimiliki, sampai detik ini tidak ada tanda-tanda yang bisa diharapkan (Okezone, 1 Februari 2021).
Bermasalahnya Nadiem Makarim ini sebenernya sudah dimulai sejak 2020 silam, ketika tiga lembaga besar: PGRI, NU dan Muhammadiyah, menyatakan mundur dari program POP. Awalnya Nadiem Makarim berjanji menundu POP ini ke bulan Januari 2021, namun hari ini malah terlibat polemik tidak penting dengan mengurusi seragam sekolah. Mungkin publik terheran-heran, kenapa saat presiden Jokowi meresufle kabinet kemarin Mendikbud tidak masuk di dalamnya, padahal saat itu banyak publik mengira nadiem akan di resufle, karena tidak ada prestasi membanggakan, bahkan tidak bisa memberi solusi teknologi saat pandemi menghantam dunia pendidikan. Wallahu a'lam bissowab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.