Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Catatan Tentang SKB 3 Menteri Mengenai Pemakaian Jilbab di Sekolah
Sebelum terbitnya SKB 3 Menteri di atas, jagad lini maya sudah lebih dahulu diramaikan oleh polemik pro-kontra soal aturan yang mewajibkan
Editor: Hendra Gunawan
Oleh M Zainal Arifin *)
DUA hari lalu, saya mendapat beberapa pesan kawan-kawan di dua grup whatsap berbeda. Isinya meminta saya memberi sedikit catatan terhadàp konten video Harsubeno Arief (HA) dengan titel: "MAKIN ANEH! MENDADAK SYARIAH TAPI JILBAB DILARANG DI SEKOLAH," yang cukup ramai di posting di medsos beberapa hari terakhir sebagai respon terhadap terbitnya SKB 3 Menteri terkait penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah negeri jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Sebelum terbitnya SKB 3 Menteri di atas, jagad lini maya sudah lebih dahulu diramaikan oleh polemik pro-kontra soal aturan yang mewajibkan pemakaian jilbab bagi siswa di Padang.
Dalam perspektif saya yang dangkal, konten video HA tsb, tidak hanya salah paham sebagaimana tanggapan beberapa kawan, tapi juga tendensius dan provokatif, karena terkesan ingin membenturkan Islam dengan negara.
Baca juga: Jilbab dalam Narasi Otoriter Rezim Nadiem Makarim
Tidak ada poin dalam SKB 3 Menteri itu yang melarang siswa berjilbab. Inti dari SKB itu adalah melarang pihak sekolah untuk membuat aturan (ketentuan) yang mewajibkan siswa untuk berjilbab atau sebaliknya, melarang siswa untuk berjilbab.
Jadi aneh kalau tiba-tiba muncul tuduhan bahwa negara sepertinya alergi dengan simbol-simbol keislaman karena membatasi warganya untuk berjilbab. Di kalangan ASN, di TNI-Polri, bahkan di kalangan atlet kita yang berlaga di Asian Games lalu, banyak yang berjilbab, termasuk atlet bola voli yang selama ini identik dengan pakaian minim. Tidak ada larangan sama sekali bagi mereka untuk berjilbab, apalagi bagi para siswa.
Baca juga: Dua Menteri Soroti Polemik Aturan Wajib Jilbab bagi Siswi Non-Muslim di Padang, Ini Tanggapannya
Terhadap kewajiban bagi setiap muslim untuk menjalankan syariat Islam yang jadi argumen sebagian orang untuk mendukung aturan atau perda-perda syariat seperti yang berlaku di Padang dengan dalih sebagai bentuk pengamalan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 45, saya ingin memberi catatan:
Pertama, apa yang disebut syariat Islam? Apa saja yang termasuk syariat dan bukan syariat itu, tidak semua ulama satu pandangan. Jadi pengertiannya multi tafsir dan bersifat sangat personal. Sekarang saja, setelah adanya gerakan-gerakan islamisme seperti Wahabi, HTI, dll, tiba-tiba saja pengertian dan lingkup syariat itu diseragamkan (mono tafsir) diikuti keharusan untuk dijadikan hukum publik.
Lalu, perbedaan pemahaman dengan mereka tidak dimaknai atau diletakkan sebagai perbedaan tafsir, tapi sebagai pembangkangan terhadap "syariat" (istilah populernya tidak syar'i), yang artinya belum "hijrah", maka konsekuensinya akan dicap "kafir harbi" yang harus dilawan, bahkan kalau perlu diperangi sebagai bentuk pengamalan dari perintah "jihad" yang dipahami berdasarkan tafsir tunggal mereka.
Baca juga: Soal Aturan Jilbab bagi Siswi non-Muslim, Kepala SMKN 2 Padang Siap Dipecat, tapi Ada Syarat
Kalau kita bicara tentang kewajiban memberi makan fakir miskin dan anak yatim, semua aliran dan mazhab keislaman sepakat bahwa itu syariat Islam. Tidak ada perdebatan soal itu. Tapi menyangkut apakah berjilbab bagian dari syariat Islam atau bukan, para ulama besar dunia, baik klasik mau pun kontemporer berbeda pandangan soal itu.
Buya HAMKA sendiri yang berasal dari Minangkabau dan dalam video HA di atas dipersonifikasikan sebagai simbol ketaatan masyarakat Sumatera Barat dalam berislam, justru isteri dan anak perempuannya tidak berjilbab, tapi menggunakan baju kurung yang jadi busana khas Minang. Begitu pun Cak Nur yang jadi simbol keislaman di HMI, Gus Dur di NU, dan Quraish Shihab yang jadi ikon bagi para mufassir dan akademisi UIN, tidak mewajibkan pemakaian jilbab kepada keluarganya. Dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya yang berpendapat serupa.
Atau Iran sebagai negara yang selama ini dikenal sangat ketat dalam pelaksanaan syariat Islam bagi warganya yang muslim, ternyata atlet-atletnya di Asian Games Jakarta tempo hari, meski pakai baju tertutup dan kerudung, tapi sedikit rambut bagian depannya dibiarkan terbuka.
Lantas, pemahaman mana yang harus dirujuk sebagai acuan? Bukankah kalau pemahaman dari satu mazhab tertentu yang harus diterapkan sebagai hukum publik dan mengikat kepada semua orang, akan berakibat diskriminatif bagi mazhab keislaman yang berbeda? Praktek-praktek seperti ini dalam sejarah Islam justru berakibat perpecahan tajam di kalangan ummat yang jadi penyebab kemunduran dan kehancuran ummat Islam itu sendiri.
Sila Ketuhanan YME itu semestinya dipahami bahwa negara tidak boleh memaksakan warganya untuk melaksanakan sesuatu aturan yang tidak diyakini berdasarkan agama dan/atau mazhab yang dianutnya. Bukan sebaliknya seperti yang jadi argumen sebagian tokoh-tokoh MUI Pusat dengan alasan sebagai pembelajaran dan pembiasaan bagi anak didik.
Kedua, dalam sejarah Islam, tidak semua syariat Islam itu diundangkan in toto sebagai hukum positif oleh negara. Justru lebih banyak diletakkan sebagai etika-etika individu.
Shalat atau puasa misalnya, apakah harus diundangkan sebagai hukum publik? Lantas, bagaimana penerapan atau implementasinya? Apakah setiap saat aparat negara harus datang mengetuk satu-satu pintu rumah warganya untuk mengecek sudah shalat atau puasa, dan jika tidak maka harus diberi sanksi hukum?
Alasan bahwa tidak tegasnya negara mengatur ketentuan berjilbab bagi anak didik adalah indikasi bahwa negara mengarah ke praktek-praktek sekularisme seperti yang disampaikan dengan tidak jemu-jemunya oleh Buya KH. Anwar Abbas (Wakil Ketua Umum MUI Pusat) di berbagai stasiun tv, hemat saya, justru logika yang mendasari argumennya itu terbalik-balik.
Sekularisasi justru terjadi ketika kewajiban shalat atau puasa misalnya dijadikan hukum publik oleh negara karena akan menggeser kataatan (iman) kepada Allah SWT sebagai basis pelaksanaan syariat yang bersifat sakral, kepada kepatuhan terhadap kewenangan negara yang bersifat profan.
Ketiga, dari sisi ketatanegaraan kita, menyangkut kebijakan soal agama, pendidikan, moneter, pertahanan-keamanan dan luar negeri adalah kewenangan Pemerintah pusat, bukan kewenangan Pemerintah Daerah sebagai bagian dari otonomi daerah.
*) M Zainal Arifin adalah mantan Ketua HMI Cabang Makassar
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.