Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Bagaimana Orang Masih Hidup Sudah Memikirkan Kematian?

Saya mendukung organ donor itu dilaksanakan saat pendonor sudah meninggal, bukan saat pendonor masih hidup.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Bagaimana Orang Masih Hidup Sudah Memikirkan Kematian?
Surya/Ahmad Zaimul Haq
Petugas menunjukkan botol berisi darah warga yang mengikuti screening donor plasma konvalesen di terminal penumpang Gapura Surya Nusantara, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/1/2021). Kegiatan yang digelar oleh PT Pelindo III (Persero) tersebut diikuti 250 orang penyintas Covid-19 guna membantu pasien-pasien Covid-19 yang masih dirawat. Surya/Ahmad Zaimul Haq 

OLEH : ANNA LIWUN, Mahasiswa Universität Passau, Jerman

“Jadilah seseorang seperti bunga, meski kau sudah mati dan tak hidup lagi, kau tetap berguna setidaknya seperti bunga kering untuk dekorasi dan hiasan.“

SEKILAS peribahasa ini mengingatkan saya hidup manusia itu tidak ada yang sia-sia, bahkan jika Tuhan izinkan manusia hidup dalam kondisi sehat, ia tetap berguna untuk manusia lainnya saat ia meninggal.

Isu donor organ memang belum menjadi hal umum di Indonesia. Saya menjadi lebih sering mendengar istilah ini ketika saya tinggal di Jerman.

Saat itu, saya mendapatkan pertanyaan dari asuransi kesehatan tentang donor organ. Bagi saya yang berasal dari Asia, pertanyaan ini menjadi tabu untuk dinyatakan.

Sesuai budaya kami, bagaimana mungkin orang masih hidup sudah memikirkan tentang kematian.

Masih banyak faktor lainnya yang menyebabkan proses donor organ di Indonesia belum lancar dan jelas dibandingkan dengan donor darah.

Berita Rekomendasi

Meski pun saya percaya kebutuhan donor organ seperti mata dan organ tubuh lainnya pun meningkat dari tahun ke tahun.

Hal ini berbeda dengan negara Jerman yang sudah mendorong warganya untuk meningkatkan rasa solidaritas meski seseorang itu sudah meninggal.

Seorang kenalan saya asal Indonesia yang baru saja menyelesaikan studinya di Jerman bercerita, ia menyatakan kesediaannya untuk menyumbangkan organ tubuhnya pada saat ia meninggal nanti kepada keluarga dan pihak medis di Indonesia.

Rupanya negeri yang pernah ia tempati, yakni Jerman telah merubah pandangannya soal donor organ. Namun keputusan yang diberikannya itu begitu berat diterima oleh pihak keluarga.

Atas dasar kemanusiaan dan rasa solidaritas, hati nurani manusia kembali terusik apakah saya bersedia untuk memberikan apa yang saya miliki setelah meninggal untuk menyelamatkan orang lain?

Semua kembali kepada keputusan tiap pribadi. Menurut saya, keputusan donor organ harus didasarkan atas keputusan individu tersebut, tanpa dipaksakan dan bersifat komersial.

Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan tujuan yang sering saya baca di surat kabar. Contohnya, seseorang baru saja menjual salah satu ginjalnya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kejadian ini masih saya baca dan dengar lewat fenomena sosial yang ada di negara berkembang.

Orang tidak lagi memikirkan masalah nurani kemanusiaan melainkan donor organ dijadikan kesempatan komersial hanya karena tuntutan hidup.

Kesempatan kejahatan kemanusiaan seperti penjualan organ pun masih saya dengar ketika sekelompok atau seseorang mampu melakukan berbagai cara yang membahayakan untuk mendapatkan organ yang mendesak.

Contoh lainnya soal kasus antrian donor organ yang juga disalahgunakan. Kuasa uang bisa menentukan siapa penerima organ donor, bukan lagi didasarkan atas rasa kemanusiaan dan daftar antrian.

Contoh seperti ini saya dengar biasa terjadi hanya karena uang menjadi landasan dasar donor organ. Ini yang sudah sepatutnya dihindari.

Oleh karena itu, saya berharap adanya informasi yang benar dan prosedur yang tepat di Indonesia tentang donor organ sehingga menghindari penyalahgunaan donor organ.

Bisa jadi perlu ada lembaga yang berwenang dan regulasi yang tepat yang selama ini tidak saya ketahui di Indonesia bilamana ada seseorang yang bersedia menyumbangkan donornya saat meninggal nanti.

Saya mendukung organ donor itu dilaksanakan saat pendonor sudah meninggal, bukan saat pendonor masih hidup.

Bagi saya, donor organ itu dilandasi atas keputusan hati nurani seseorang. Tidak ada paksaan atau iming-iming uang yang menjanjikan sehingga semua murni atas dasar solidaritas kemanusiaan.

Atas dasar kemanusiaan donor organ bisa dilakukan pada pendonor dan penerima organ yang masih ada hubungan darah.

Hal ini masih berlaku anggapan penerima organ merasa percaya pada organ yang diperolehnya. Kenyataannya, belum tentu ada kecocokan organ juga meski masih terjadi pertalian darah.

Bagi saya, organ donor tidak lagi dikaitkan kepada siapa organ ini akan saya sumbangkan.

Saya lebih sependapat tidak ada identitas atau anonim antara keduanya, baik pendonor maupun penerima organ sepanjang keduanya memiliki kecocokan organ dan sesuai dengan prosedur kesehatan.

Bagaimana pun nurani kemanusiaan itu dilakukan pada siapa saja tanpa melihat hubungan kekerabatan dan identitas sosial.

Sebagai contoh, saya membaca surat kabar di Jerman seorang warga negara Turki menyumbangkan donor organ kepada seorang perempuan asal Jerman setelah ia wafat.

Cerita inspirasi ini membuat simpati dan empati banyak orang, terlepas apa pun kebangsaan dan masalah politik yang terjadi di kedua negara tersebut.

Keputusan donor organ didasarkan pada keputusan hati nurani. Adanya edukasi termasuk informasi dan prosedur yang jelas maka saya percaya tiap orang ingin membantu orang lain setelah ia meninggal.

Bukan tidak mungkin, edukasi soal donor organ pun diikuti cerita insipiratif seperti warga negara Turki di atas kepada perempuan asal Jerman misalnya.

Banyak cerita inspiratif lainnya yang menggugah hati nurani banyak orang untuk memutuskan kesediaan mendonorkan organ setelah kematian.

Saya berharap masa mendatang teknologi medis lebih teliti lagi dalam mengindentifikasi organ tubuh yang sehat.

Baru-baru ini saya membaca terjadi ketidaktelitian organ tubuh yang didonorkan kepada penerima donor.

Tiga kasus ini menyebabkan kematian pada penerima donor. Rupanya pihak medis tidak mengecek sel kanker yang terdapat pada pendonor.

Teknologi medis yang berkembang cepat dan maju diharapkan juga dapat menolong jutaan orang yang membutuhkan organ atas dasar kemanusiaan.

Saya setuju dengan itu. Saya tidak setuju jika teknologi kedokteran melakukan transplantasi organ dari hewan kepada manusia.

Saya masih memikirkan bagaimana mungkin akses antar spesies itu terjadi.

Saya masih belum menerima kenyataan bagaimana tubuh saya misalnya memiliki salah satu organ dari kera atau orangutan misalnya meski hewan mamalia ini mendekati manusia.

Seberapa pun maju dan baiknya teknologi kedokteran tetapi tidak ada yang menandingi kekuasaan Tuhan dalam menciptakan manusia dengan segala isi organ tubuhnya.

Sebagai ciptaanNya, manusia wajib menjaga dan merawat tubuhnya.(*)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas