Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Bolehkan sang Zahid Kaya Raya? Memaknai Zuhud, dan Fungsi Derma Sosialnya

Zuhud dan Zahid di mata publik lebih dipahami sebagai sikap hidup yang anti kenikmatan duniawi.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Bolehkan sang Zahid Kaya Raya? Memaknai Zuhud, dan Fungsi Derma Sosialnya
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon. 

Faridduddin al-Aththar juga menceritakan dalam kitab Tadzkirul Auliya bahwa seorang sufi besar bernama asy-Syibli berguru kepada Imam Junaid al-Baghdadi. Salah satu bentuk ujian perihal tekadnya menempuh jalan tasawuf adalah perintah berdagang. Barang dagangan yang dijual kalaitu adalah belerang (Fathollah, 2018:108).

Pendapat sufi lain yang senada adalah Zunnun al-Misri. Menurut Amir an-Najar, Zunnun al-Misri mengatakan bahwa orang zuhud tidak harus miskin. Orang Zuhud sejati adalah seseorang yang hatinya sama sekali tidak merasa senang dengan harta yang melimpah ruah. Begitu pula, hatinya tidak sedih bila harus kehilangan harta tersebut. Sedangkan Zahid adalah orang yang zuhud jiwanya (an-Najar, al-‘Ilmu an-nafsi ash-Shufiyah, 2001: 238).

Pendapat Zunnun al-Misri dan Ibnu Athaillah ini menjadi tawaran baru tentang pengertian Zuhud dan Zahid. Nilai paling penting dalam konsepsi zuhud adalah peran kesinambungan manusia terhadap kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara. Zahid tidak harus menghindari peran-peran penting dan pos-pos strategis yang tersedia baginya. Sebaliknya, Zahid menjaga hati dan pikirannya agar tidak terikat dan melekat pada gemerlap dunia; tidak senang bila mendapati harta berlimpah dan juga tidak sedih bila kehilangan segalanya.

Sejatinya memang masuk di akal betapa ruginya orang yang meninggalkan dunianya demi akhiratnya. Padahal, dunia dan akhirat sama-sama hijab bagi seseorang yang mencari Allah SWT. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan, “dunia adalah hijab bagi akhirat, dan akhirat adalah hijab dari Tuhan. Bila dunia-akhir sama-sama berdiri, maka jangan pandangi keduanya, dan engkau akan benar-benar zuhud terhadap segala sesuatu,” (Syukur, Zuhud Di Era Modern 14-15).

Dikisahkan bahwa pada suatu hari, salah satu sufi murid dari Ibnu Arabi bernama Syeikh Kepala Ikan. Gelar itu diperoleh karena masyarakat menilainya hidup sederhana, yakni hanya makan kepala ikan untuk lauknya. Syeikh Kepala Ikan ini memiliki seorang murid. Suatu hari, sang murid ingin pergi berdagang ke daerah Mursia, Spanyol. Syeikh Kepala Ikan berpesan, “pergilah ke Mursia, carilah guruku, dan mintakan pesannya untukku.”

Sang murid pun pergi, setibanya di Spanyol, ia bertanya ke sana ke mari tentang sosok sufi besar sebagaimana dikatakan oleh gurunya di kampung halamannya itu. Terkejut dan tak kepalang tanggung. Sang murid melihat sosok Syeikh berwibaya, bergelimang harta, dan sayup-sayup muncul bisikan dalam hatinya, “bagaimana mungkin orang kaya raya ini pernah menjadi guruku di kampung.”

Sang murid pun disambut oleh ulama besar dari Spanyol itu. Suguhan dengan ragam hidangan disajikan. Setelah tiba pada sisi perbincangan, sang murid menjelaskan dirinya, gurunya, dan meminta nasehat untuk gurunya. Syeikh Spanyol itu berkata, “sampaikan padanya, jangan memikirkan dunia!”

Berita Rekomendasi

Keterkejutan sang murid semakin menjadi-jadi. Ia pun selesai masa perdagangannya dan kembali ke kampung halaman. Ia menyampaikan pesan Syeikh Abkar dari Mursia, Spanyol. Syeikh Kepala Ikan itu tersenyum sambil menangis, “Syeikh Akbar itu benar. Menjalani tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh kekayaan yang dimiliki, tetapi tetap terpaut pada Allah SWT.

Kisah ini menjadi penegas bahwa para sufi besar memang tidak melarang para muridnya untuk berdagang dan menjadi kaya raya. Hanya saja, hati harus betul-betul dijaga jangan sampai memikirkan kenikmatan duniawi. Hati orang kaya raya yang tidak terikat oleh kecintaan pada gemerlap duniawi jauh lebih mulia dari hati orang miskin yang selalu mengejar-ngejar dunia.

Dengan kekayaan yang melimpah semacam itu, umat muslim diperintahkan bersedekah, berinfat, berzakar, berwakaf, dan mendermakannya untuk kepentingan bangsa dan negara. Allah SWT berfirman: “Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan,” (Qs. al-Ma'un: 4-7).

Sekalipun harta yang semula berlimpah habis untuk berderma (sedekah, infaq, zakat, wakaf), hati seorang Zahid tidak pernah sedih, sebagaimana ia juga tidak pernah senang saat berlimpah. Imam al-Ghazali mengatakan, seseorang tetap akan dianggap zuhud sekalipun mampu bersedekah dengan harta yang melebihi kebutuhan hariannya. Boleh bersedekah seluruh hartanya selama mampu memastikan memiliki hati yang siap tawakal (al-Ghazali, Ihya’, 1/799).

Jika tidak mampu berderma uang, maka boleh berderman kebaikan lainnya. Makki al-Rumaili menceritakan tentang sufi besar, al-Khatib, yang mengalami sakit sejak pertengahan bulan Ramadan hingga Dzul Hijjah. Setalah mati, ditemukan wasiatnya untuk mewakafkan semua kitabnya, sedangkan hartanya dibagi-bagikan ke berbagai sektor kebaikan dan khususnya kepada kaum Muhaditstsin (Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala’, 2004:519).

Alhasil, zuhud menyangkut masalah hati, bukan masalah kaya dan miskin. Seseorang tetap disebut Zahid walaupun kaya selama tidak terikat oleh kesenangan duniawi. Sehingga hatinya terbuka lebar untuk menggunakan kekayaannya demi kebaikan umat, bangsa dan negara; banyak berderma melalui jalan-jalan yang sudah ditetapkan dalam syariat Islam, seperti sedekah, zakat, infah, wakaf, dan lainnya. Wallahu a’lam bis showab.

*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon. 
Daftar Pustaka
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Qamus ‘Arabiy-Indunisiy, (Yogyakarta t.t.)
A.Kemal Riza, “Ascetism inIslam and Christianity:With Reference to Abu Hamid alGhazaliand Francis of Assisi,” dalam Teosofia Indonesian Journal of Islamic Mysticism, Vol. 1,Number 1, 2012.
Abdullah Asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.)
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al- Ghazali, Ihya’Ulum al-Diin, juz 4, (ttp: Syirkat an-Nur Asia, tt.).
Amin Syukur, Zuhud Di Era Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Mohammad Fathollah, Surat Cinta Para Sufi, (Yogyakarta: Diva Press, 2018)
Said Aqil Husin Al Munawar, Hidup Penuh Berkah Melalui Ibadah Yang Paling Mudah, (Banten: Penerbit IIMaN, 2001)
Wawan Susetya, Ngelmu Makrifat Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2007).
Muhammad bin Ahmad Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2004.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas