Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bolehkan sang Zahid Kaya Raya? Memaknai Zuhud, dan Fungsi Derma Sosialnya
Zuhud dan Zahid di mata publik lebih dipahami sebagai sikap hidup yang anti kenikmatan duniawi.
Editor: Husein Sanusi
Bolehkan sang Zahid kaya raya? ; Memaknai Zuhud, dan Fungsi Derma Sosialnya
Oleh: Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Dunia dan materi merupakan barang rebutan semua orang. Persaingan digelar sepanjang waktu. Walaupun sudah dibuatkan aturan dan norma untuk membatasinya, namun tetap saja sering kali para pesaing melanggarnya. Dunia menjadi sumber kekacauan. Bagi orang yang hatinya tidak cinta dunia, maka ia akan memilih menyingkir. Inilah konteks sosial awal mula konsep Zuhud dibangun.
Zuhud secara bahasa berarti meninggalkan atau tidak menyukai (zahida, yazhadu, zuhdan). Pelakunya disebut Zahid (Warzon, 626-627). Orang-orang yang Zuhud, tidak terlalu tertarik pada dunia dan lebih memilih ibadah pada Allah, dikisahkan dalam al-Quran. Allah Swt berfirman: “Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah, yaitu beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya,” (Qs. Yusuf: 20).
Orang-orang yang menyelematkan Yusuf dari dalam sumur, kemudian menjualnya dengan harga murah kepada pembesar Mesir, disebut oleh Allah sebagai kalangan Zahidin, orang-orang yang Zuhud. Pada perkembangan berikutnya, zuhud tidak lagi menjadi kualitas ataupun identitas personal dan kelompok melainkan bagian penting dari perjalanan spiritual Islam itu sendiri (Kemal Riza, 2012, Vol. 1, No. 1).
Sebagai bagian penting dari ajaran spiritual Islam, pengertian Zuhud dikembangkan dengan banyak disandarkan pada al-Quran dan Sunnah. Beberapa ayat al-QUran yang dapat dijadikan rujukan antara lain: ar-Ra'du ayat 26, an-Nisa' ayat 77, asy-Syura ayat 36, Ghafir ayat 39, al-A'la ayat 16-17, al-Hadid ayat 20 dan 33. Semua itu bicara tentang rendahnya materi dan kesenangan duniawi lainnya.
Sebuah hadits tentang Zuhud juga banyak. Abu Hurairah ra meriwayatkan sabda Rasulullah saw:
الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Dunia ini dilaknat dan terlaknat pula segala yang ada di dalamnya, kecuali dzikir pada Allah dan yang berhubungan dengannya, atau seorang yang 'alim dan yang belajar,” (HR. Ibnu Majah: 4102).
Zuhud dan Zahid di mata publik lebih dipahami sebagai sikap hidup yang anti kenikmatan duniawi. Imam al-Ghazali mendefinisikan zuhud sebagai tingkatan batin seseorang yang lebih memilih akhirat daripada kesenangan duniawi (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 211).
Namun demikian, dari waktu ke waktu, pengertian tentang Zuhud juga berkembang. Syeikh Asy-Syarqawi, Pensyarah Kitab al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, mengatakan bahwa fakulluman yafirru minal khalqi likaunihim qathi’ina anillah wa dzalika lighaibatihim ‘anillahi fi kulli syai-in. Siapapun yang melarikan diri dari kehidupan sosial adalah lantaran mereka terputus dari Allah dan mereka tidak mampu melihat Allah dalam segala sesuatu (asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam, t.t.; 89).
Ibnu Athaillah as-Sakadari, salah satu mursyid tarekat Syadziliyah, ingin mengajarkan bahwa praktik Zuhud tidak mengharuskan seorang Zahid menghindari duniawi hanya untuk mengingat Allah SWT. Sebab, berdzikir pada Allah dapat dilakukan setiap saat dan dimanapun, baik di dalam hutan maupun di tengah kota, baik di dalam kamar sempit maupun sembari bekerja mencari rejeki di pasar. Allah ada di mana-mana.
Syeikh Imam Syadzili sendiri selain dikenal sebagai seorang sufi, pendiri tarekat Syadziliyah, beliau juga dikenal kaya raya. Kekayaannya sangat melimpah ruah. Ia memiliki lahan perkebunan, sawah dan ladang yang sangat luas. Bangunan rumahnya terlihat megah dan mewah. Namun, semua orang juga tahu bahwa pada saat itu juga semua harta tersebut sama sekali tidak mempengaruhi batinnya. (Susetya, 2007: 170).
Tidak saja Syeikh Syadzili, masih banyak para sufi besar yang juga kaya raya, seperti Ibnu Arabi, Fariduddin al-Aththar, Junaid al-Baghdadi, dan lainnya. Fariduddin al-Aththar yang terkenal melalui karya kitabnya berjudul Mantiqut Thair (Logika Burung) adalah pedagang parfum yang sukses (al-Munawar, 2001:89).