Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Menguak Sisi Rahasia dan Jenaka Doni Monardo

Kesaksian Muhadjir Effendy mengendalikan Covid-19 bersama Doni Monardo, membekaskan kesan yang begitu mendalam.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Menguak Sisi Rahasia dan Jenaka Doni Monardo
Istimewa
Doni Monardo. 

Sebagai penulis, ia simpan rapat cerita-cerita itu, lalu disajikannya untuk Anda melalui buku terbitan PT Citra Jayakarta Nawa Astha dan Yayasan Kita Jaga Alam ini.

Pendek kalimat, jika harus merunut satu per satu tulisan dalam buku yang disunting oleh Roso Daras ini, tentu teramat panjang. Sebab, setiap tulisan memang memiliki daya tarik tersendiri.

Beberapa tulisan, bisa jadi bukan topik eksklusif, tetapi di buku “Titik Nol Corona”, pembaca akan mendapatkan angle yang berbeda, ditambah data dan fakta baru yang tak terungkap di tulisan mana pun sebelumnya.

Contoh, tulisan berjudul “Insiden Ekspor APD”.

Tulisan ini memotret kelangkaan APD (Alat Pelindung Diri) pada awal-awal pandemi.

Menjadi eksklusif karena Egy melengkapinya dengan wawancara eksklusif bersama Marsekal Pertama (Marsma) TNI Jorry Soleman Koloay.

Waasops TNI Marsma Jorry adalah salah satu tokoh penting di balik peristiwa yang dalam situasi normal, bisa diartikan sebagai “pembajakan APD”.

Sambutan Menko Muhadjir Effendy di buku “Titik Nol Corona, Doni Monardo di Pusaran Wabah
Sambutan Menko Muhadjir Effendy di buku “Titik Nol Corona, Doni Monardo di Pusaran Wabah" karya Egy Massadiah. (Istimewa)
Berita Rekomendasi

Selain topik human interest, buku ini juga memuat topik hard-news, yang dikemas dalam narasi gamblang.

Topik yang dimaksud terkait dengan buntut kepulangan Habib Rizieq yang berbuntut panjang. Bahkan persidangannya pun sampai sekarang masih berlangsung.

Egy menuliskannya dalam judul “Geger 20.000 Masker”. Di sinilah penulis menguak peristiwa di balik berita.

Tidak saja latar belakang, tetapi sekaligus memberi gambaran lengkap di semua fase: pra - saat kejadian - pasca kejadian.

Sebagai penutup, Egy menyajikan sebuah tulisan yang sangat inspiratif, “Memuliakan Makna Berbagi”.

Inspirasi tulisan berangkat dari sebuah tayangan pendek Diyanet TV, sebuah stasiun televisi yang dikelola kantor urusan agama Pemerintah Turki.

Tersebutlah pemandangan di sebuah kedai roti di tepi jalan besar. Bagian depan digunakan untuk memajang roti khas Turki yang dinamakan ekmek.

Tampak keranjang digantungkan di tiang kanan. Orang Turki belum berasa makan kalau belum menyantap ekmek.

Datanglah seorang pria membeli delapan potong ekmek. Tapi pembeli hanya mengambil empat.

Empat lainnya diamanahkan kepada penjual untuk disedekahkan kepada yang memerlukan. Sang penjual lalu memisahkan empat ekmek amanah dan memasukkan ke keranjang gantung.

Tak lama, datang si “miskin” memohon sekerat-dua-kerat ekmek, yang barangkali ada bagian rezekinya di kedai itu.
Penjual pun mengambil tas dan memasukkan empat potong ekmek, dan menyerahkan pada si miskin. Lalu, si “miskin” mengembalikan yang dua.

Benar. Ia hanya perlu dua potong ekmek yang berukuran besar itu.

Dua lainnya, ia minta dimasukkan kembali ke keranjang gantung, yang mungkin saja akan sangat berarti bagi si lapar lain.

Tak lama setelah kedatangan si miskin, datang wanita membeli empat ekmek.

Lagi-lagi, ia tampak mengeluarkan dua, dan mengamanahkan kepada penjual untuk dibagikan kepada yang membutuhkan.
Dengan senyum ramah, si penjual mengangguk dan memasukkan sedekah dua potong ekmek ke dalam keranjang gantung.

Sebuah pelajaran budi pekerti yang sangat agung. Si kaya tidak kikir, si miskin tidak tamak, dan si penjual tidak khianat.

Begitu menyentuh tayangan tadi, membuat Egy mencari tahu tradisi apa gerangan yang tampaknya begitu membudaya di kehidupan sehari-hari masyarakat Turki.

Diketahuilah, film pendek tadi adalah potret tradisi “askida ekmek”.

Tradisi yang sudah ada sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah atau yang dikenal era Kekaisaran Ottoman (abad XII).

Penulis menyelipkan harap, tradisi “askida ekmek” dilakukan di gerai-gerai waralaba yang menjamur di tanah air, di warteg-warteg, di restoran-restoran padang, di kedai-kedai kopi……

Last but not least, belum lengkap catatan ini kalau tidak menyoroti cover buku “Titik Nol Corona, Doni Monardo di Pusaran Wabah”.

Foto Doni Monardo sedang menengadahkan kedua tangan, sikap berdoa, seolah berdoa kepada Tuhan agar memberinya pertolongan membebaskan bangsanya dari wabah corona.

Jika Anda perhatikan, sisi menarik justru bukan pada posisi kedua tangan Doni Monardo (sekalipun secara maknawi, itu jelas lebih bermakna).

Lihatlah rambut Doni Monardo yang mulai menipis. Sebagian kulit kepalanya tampak jelas, sebagai pertanda ia mengalami kerontokan rambut yang dahsyat.

Sangat kontekstual dengan masa-masa under-pressure bergelut dengan wabah Covid-19.

Tentu beda jika kita sandingkan dengan foto terbaru Doni Monardo. Rambut Doni seperti pulih dari kerontokan, mulai tebal dan terhindar dari kebotakan.

Maknanya, Doni Monardo telah berhasil mengendalikan kerontokan rambut. Semoga, sukses yang sama dalam mengendalikan pandemi Covid-19. (*)

*) Sumarno, Jurnalis Senior, Staf Puskamnas Universitas Bhayangkara Jaya

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas